Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tingkat bunuh diri di Indonesia semakin mencemaskan dalam beberapa tahun belakangan ini.
Bunuh diri telah menjadi fenomena sosial yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak.
Dukungan keluarga dan lingkungan sosial diperlukan untuk mencegah orang bunuh diri.
Bagong Suyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dekan FISIP Universitas Airlangga dan Dosen Masalah Sosial dan Kriminalitas di Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Miris. Kata inilah yang bisa menggambarkan fenomena sosial yang belakangan ini terjadi. Bayangkan, seseorang yang seharusnya menjaga kelangsungan hidupnya tiba-tiba memilih jalan pintas dengan bunuh diri karena tak kuat menahan beban hidup.
Pada Desember ini saja, sudah banyak kasus bunuh diri terjadi. Di Kabupaten Malang, Jawa Timur, seorang guru sekolah dasar bersama istri dan anaknya bunuh diri karena terjerat utang hingga puluhan juta rupiah. Di Kediri, Jawa Timur, seorang remaja bunuh diri karena terjerat pinjaman online (pinjol). Ada pula kasus bunuh diri yang dilakukan mantan mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, yang melompat dari lantai 12 gedung fakultas ilmu komputer kampus tersebut.
Faktor Penyebab
Daftar kasus orang yang melakukan aksi bunuh diri bisa terus diperpanjang. Di Indonesia, ada kecenderungan kasus ini meningkat dan makin mencemaskan. Ini bukan lagi kasus individual, ketika orang per orang mengakhiri hidupnya karena tak kuat menghadapi tekanan hidup pribadi. Di sini, bunuh diri tampaknya telah menjadi fenomena sosial yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak.
Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional Kepolisian RI, jumlah bunuh diri mencapai 1.226 kasus selama 1 Januari hingga 15 Desember 2023. Sungguh di luar nalar. Seribu lebih orang memilih bunuh diri ketimbang menghadapi kenyataan dengan tegar. Jumlah ini naik dari 902 kasus pada 2022, 629 kasus pada 2021, dan 640 kasus pada 2020 yang melakukan aksi bunuh diri.
Meskipun dilarang di semua agama, bunuh diri kerap menjadi pilihan orang-orang yang putus asa dalam menghadapi kenyataan hidup atau kesulitan hidup yang luar biasa. Secara garis besar, ada beberapa faktor penyebab seseorang memilih melakukannya. Pertama, kondisi psikologis yang rapuh. Bunuh diri menjadi bentuk pelarian diri orang-orang yang tak kuat menghadapi masalah yang menekan diri dan keluarganya. Alih-alih tegar menghadapi tekanan hidup, seseorang yang mengalami depresi berkepanjangan tidak dapat berpikir panjang lagi. Mereka memilih mengakhiri hidupnya karena merasa tidak lagi mampu menemukan jalan keluar sesuai dengan kemampuannya. Orang ini biasanya memiliki rasa bersalah yang kuat serta merasa tidak berarti dan tidak diinginkan.
Kedua, tak kuat menghadapi tekanan kebutuhan hidup dan upaya mengatasi persoalan ekonomi yang selalu menemui jalan buntu. Berbeda dengan faktor yang sifatnya emosional-pribadi, seperti korban putus cinta atau kesepian, faktor ekonomi sering berkaitan dengan kondisi kemiskinan yang kronis, kehilangan pekerjaan, atau terjerat utang. Yang masih memiliki harapan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi biasanya akan bertahan. Tapi lain soal ketika semua usaha yang dilakukan seolah-olah sia-sia.
Ketiga, tidak ada dukungan keluarga dan komunitas. Orang-orang yang memiliki penyangga sosial yang kuat umumnya memiliki tempat untuk mengadu sekaligus bersandar ketika menghadapi masalah. Seorang remaja yang putus cinta, misalnya, niscaya akan mampu melewati masalah yang dihadapi kalau punya teman untuk curhat atau keluarga yang mendukungnya. Ini berbeda jika seseorang merasa hidupnya sendiri dan tidak ada lagi orang yang mendukungnya. Seseorang yang dirundung masalah kronis, tapi pada saat yang sama harus menghadapinya sendirian, akan putus asa dan merasa tidak berharga, sehingga ujung-ujungnya ingin mengakhiri hidupnya.
Dukungan Lingkungan
Sebagai persoalan kesehatan jiwa, belum banyak usaha yang telah dikembangkan pemerintah untuk mengurangi kasus bunuh diri. Ketersediaan layanan kesehatan untuk mereka juga masih jauh dari memadai. Dari 5.694 pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang tersebar di 34 provinsi, yang memiliki layanan kesehatan jiwa jumlahnya sangat terbatas. Hanya sekitar 55,5 persen yang memiliki fasilitas layanan kesehatan jiwa. Padahal jumlah orang yang membutuhkannya dari tahun ke tahun semakin banyak. Puskesmas di Yogyakarta, misalnya, dikunjungi rata-rata 200 orang per bulan untuk berkonsultasi dan mencari kesembuhan penyakit jiwanya. Separuh orang yang membutuhkan layanan kesehatan jiwa itu ternyata mahasiswa, yang notabene adalah orang yang berpendidikan.
Penanganan kasus bunuh diri bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Semua pihak bertugas untuk mencegah orang tidak melakukan tindakan tersebut. Bukan hanya keluarga dan teman atau orang-orang terdekat mereka, lingkungan sosial juga seharusnya memiliki kepekaan untuk melakukan deteksi dini untuk mencegah agar korban tidak keburu jatuh.
Bagi orang-orang yang sadar, berkonsultasi ke psikolog atau psikiater memang kerap menjadi pilihan. Namun orang awam yang sudah telanjur dibelit masalah dan tidak sadar akan arti penting layanan kesehatan membutuhkan dukungan lingkungan sosial yang memiliki kepekaan dan kepedulian yang benar-benar berempati.
Dalam hal ini, pencegahan tentu akan jauh lebih baik. Kepedulian keluarga, kerabat, dan lingkungan sosial adalah kunci untuk mencegah mereka mengakhiri hidupnya.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo