Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN 1994 DAN HAL-HAL YANG TERSISA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah adaptasi dari film Korea yang komersil, Riri Riza dan Mira Lesmana menyulapnya menjadi film yang justru lebih bagus daripada aslinya.
BEBAS
Sutradara : Riri Riza
Skenario : Kang Hyoung-chul
Diadaptasi dari skenario “Sunny”oleh Mira Lesmana dan Gina S.Noer
Pemain : Marsha Timothy, Susan Bachtiar, Indy Barends, Sheryl Sheinadia, Maizura, Lutesha, Widi Mulia, Kevin Ardilova
Produksi : Miles Films, CJ Entertainment
***
Di manakah Anda pada tahun 1994?
Ini jelas bukan pertanyaan untuk generasi milennial dan generasi Z yang sebagian besar kehadirannyapun belum direncanakan.
Pertanyaan ini lebih untuk mereka yang mungkin ingat bagaimana penyair Rendra ditangkap dan pelukis Semsar Siahaan dihajar aparat di depan Departemen Penerangan karena ikut demonstrasi pembredelan majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik; atau paling tidak untuk generasi muda yang gemar membaca sejarah.
Pada tahun inilah Vina Panduwinata—iya nama tokohnya persis nama penyanyi terkenal itu (diperankan Maizura) --masuk sekolah baru di Jakarta dari sebuah sekolah nun jauh di Sumedang sana. Kelak Vina lebih sering diejek sebagai si Tahu Sumedang oleh anak-anak Jakarta yang belagu itu. Dengan aksen Sunda dan ‘sepokat’ yang ‘tidak Jakarta’ tentu saja Vina nyaris hancur menjadi bubur sebelum akhirnya Kris Dayanti (iya, ini juga nama si tokoh kepala geng) yang diperankan dengan bagus sekali oleh Sheryl Sheinafia, menyediakan payung perlindungan bagi si anak Sumedang manis, polos dengan mata yang berbinar-binar itu. Jadilah Vina sebagai bagian dari anggota Geng ‘Bebas’ demikian nama kelompok yang ditahbiskan dari judul lagu Iwa. K yang albumnya juga dirilis tahun 1994 itu.
Keenam anggota, selain Kris si Kepala Geng yang galak dan jago karate, serta si anak baru imut Vina , adalah anggota lain bernama Jessica (Agatha Pricilla) yang terus menerus sibuk bersolek; Suci (Lutesha Sadhewa) yang paling jelita tetapi cemberut melulu karena persoalan keluarga; atau Jojo (Bhaskara Mahendra) satu-satunya anggota lelaki yang selalu diejek persoalan ‘maskulinitas’nya atau Gina (Zulfa Maharani) yang rumahnya sering digunakan untuk berkumpul. Dibanding tujuh anggota kelompok “Sunny” dalam film asal Korea itu, enam anak SMA ini sudah cukup banyak, karena penontonpun harus menghapal para pemain dewasa.
Belum lagi geng ‘Baby Girl’ yang diketuai Lila (Amanda Rawles) , geng cakep semua dan blagu semua, yang di masa SMA biasanya disebut geng populer adalah rombongan cukup penting bagi kemaslahatan geng Bebas. D i masa itu, istilah “bully” belum dikenal dalam pergaulan Indonesia, dunia maya dan ledakan internet masih nun jauh di abad berikut. Jika berkelahi, mereka akan berhadap-hadapan.
Jika berniat melakukan “bully” atau merundung, mereka melakukannya secara langsung di hadapan calon korban. Millenials dan Z, ini namanya “gencet”! Inilah tahun 1990-an sebelum kalian terhisap gawai.
Kisah remaja di tahun 1990-an ini tentu saja bercerita masa SMA yang ‘sulit’ karena tuntutan pergaulan (“aku harus ganti sepokat,’kata Vina yang mulai mencampur aduk bahasa Jakarta dan Sunda dengan orangtuanya (Irgi Fahrezi dan Sarah Sechan yang asyik sekali), sementara si akang yang ‘aktivis’ yang ngomel-ngomel tentang pemerintah Orde Baru, tentang kaptalisme, tentang segalanya yang salah di masa itu.
Dynamic-duo Mira Lesmana dan Riri Riza bukan sekedar mengadaptasi film remaja “Sunny” untuk bersenang-senang. Kita diberi konteks sejarah dan politik, meski terasa sekilas. Seperti halnya film “Sunny” yang mengambil setting menjelang pemberontakan tahun 1987, Riri dan Mira memilih tahun 1994 ketika majalah Tempo dibredel karena “saat itu Indonesia sudah mulai panas dan kelompok-kelompok mahasiswa sudah tumbuh secara underground,” kata Mira. Mereka sengaja tak ingin memilih tahun 1997-1998 karena saat itu suasana sudah terlalu kelam karena situasi ekonomi yang terpuruk dan kasus penculikan mahasiswa sudah mulai terdengar.
Pilihan itu bisa dipahami, apalagi saat memasuki tahun 2019, film ini mulai memasuki realita: masa dewasa yang tak selalu merah jambu. Kita kemudian menyadari bahwa tidak setiap orang berhasil meraih impiannya. Tokoh Vina dewasa (Marsha Timothy) secara tak sengaja bertemu dengan Kris dewasa (Susan Bachtiar) yang digerogot kanker. Permintaan Kris yang terakhir: kumpulkan kawan-kawan satu geng Bebas yang dulu terpisah karena sebuah tragedi.
Maka setelah mengendus kiri kanan, termasuk media sosial dan menyewa seorang investigator bekas kawan sekelas, mereka berhasil menemui satu persatu kawan-kawan lama. Dan di sinilah Vina –yang juga mewakili penonton—menyaksikan betapa segala impian indah remaja tak selalu terwujud. Kecuali Jessica dewasa (Indy Barends) yang tak terlalu berubah dan kini menjadi agen asuransi, kawan-kawannya yang lain mengalami berbagai kesulitan hidup yang tak terbayangkan. Dari Jojo yang “pernah menikah untuk menyenangkan orangtua” hingga Gina yang situasi finansialnya sangat parah.
Ada kontradiksi di dalam impian dan jarak 25 tahun di depan mereka. Vina selalu menyangka dirinya “mengikuti arah angin” dan menolak konfrontasi kemudian menyatakan melawan mereka yang menyerang anaknya. Pada adegan pembalasan dendam itulah para penonton—yang mungkin merasa satu generasi dengan geng Bebas dewasa—ikut-ikutan merasa dalam arus balas dendam.
Film ini , bagi saya bukan sekedar sebuah film reuni dan kenangan masa remaja yang asyik; bukan saja bikin kita ingin ikut goyang atau jingkrak mendengar lagu “Bidadari” (Andre Hehanusa), “Kujelang Hari” (Denada) atau “Cukup Siti Nurbaya” (Dewa 19), tetapi ada sesuatu yang lebih personal ketika sekali-dua , Riri memperlihatkan beberapa pojok yang dijaga tentara, atau obrolan bagaimana suasana yang semakin menekan sejak majalah Tempo dan Editor dibredel dan bahkan ketika geng-geng itu berkelahi di antara tawuran itu. Kita lantas teringat bahwa masa-masa represif itu sebetulnya belum terlalu lama, dan masih bisa muncul kembali kapan saja.
Tetapi kegembiraan yang utama adalah bahwa duo Mira dan Riri kembali menyajikan menu mereka yang lezat seperti dulu ketika mereka memproduksi Ada Apa dengan Cinta (2002) dan Laskar Pelangi (2008). Tak ada kebahagiaan yang melebihi penonton jika segala yang di depan layar terasa pas, tak lebih dan tak kurang: plot, dialog, musik dan juga humor serta kesedihan.
Bahkan segala yang di’sunting’ dari versi Korea dan yang di’ganti’ menjadi Indonesia menjadi sangat relevan dan tepat, misalnya menambahkan satu anggota lelaki di dalam geng Bebas (sementara di dalam geng Sunny semuanya anak perempuan); atau beberapa hal yang tampak ‘remeh’ tapi sebetulnya esensial dengan di-Indonesiakan oleh Mira, Gina S.Noer dan Riri dengan rapi dan pas. Bahwa kemudian ada beberapa nama besar yang lalu lalang seperti Oka Antara, Reza Rahadian, Cut Mini, Dea Panendra, Happy Salma adalah keputusan yang menarik karena “ini penampilan yang pendek dan harus diperankan pemain yang sudah jadi,” demikian Mira Lesmana.
Film Bebas pada akhirnya bukan hanya sebuah film nostalgia, tetapi juga tentang pencarian diri (kembali). Penuh humor, juga kesedihan , cerita ini bersatu dengan musik dan idiom anak muda 1990-an yang asyik dengan pemilihan pemain yang tepat. Ketika film selesai, saya tidak ingin berpisah dengan jagat “Bebas” .
Leila S.Chudori