Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menggelar balapan Formula E di sekitar Monumen Nasional pada awal Juni mendatang hanya bakal menguntungkan segelintir pengusaha. Sebagian besar warga Ibu Kota justru merugi. Tak hanya kehilangan ratusan pohon yang harus ditebang untuk merapikan arena kebut-kebutan mobil listrik itu, warga juga belum tentu mendapat keuntungan dari penyelenggaraannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dana jumbo sekitar Rp 1,6 triliun yang dikucurkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk Formula E akan jauh lebih bermanfaat jika dipakai buat mengantisipasi banjir atau membangun rumah susun untuk warga. Ketimbang menyetorkan Rp 390 miliar ke pemilik lisensi Formula E, yakni Fédération Internationale de l’Automobile (FIA), Gubernur Anies bisa membeli lebih banyak bus listrik untuk transportasi publik warga Ibu Kota. Dana Rp 934 miliar yang digunakan PT Jakarta Propertindo untuk membangun lintasan balap dan memermak kawasan Monas bisa menjadi tambahan modal bagi Bank DKI agar lebih leluasa menyalurkan kredit mikro buat pengusaha kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dampak ekonomi penyelenggaraan kompetisi yang baru diadakan lima kali sejak 2014 ini kabarnya akan mencapai Rp 1,2 triliun. Tapi, sampai sekarang, tak pernah jelas benar dari mana duit sebanyak itu bakal datang. Hanya ada harapan tentang pencitraan Jakarta sebagai kota pariwisata yang dijanjikan terdongkrak. Juga gembar-gembor soal publikasi gratis karena Formula E biasanya diliput ratusan media internasional. Sebanyak 90 ribu penonton yang diharapkan membeli tiket juga masih hitung-hitungan di atas kertas.
Faktanya, penyelenggaraan Formula E di beberapa kota tak berakhir seperti rencana. Moskow (Rusia) dan Sao Paulo (Brasil) mundur dari daftar tuan rumah dengan berbagai alasan. Yang paling spektakuler adalah mundurnya Montreal (Kanada) sebagai tuan rumah pada 2018 setelah mengetahui penyelenggaraan balapan ini merugi jutaan dolar. Wali Kota Montreal Denis Coderre juga dituding melanggar banyak aturan saat membawa balapan Formula E ke kotanya.
Di Jakarta, penyelenggaraan balapan itu makin problematik. Kini tercium pula indikasi adanya patgulipat. Tim ahli cagar budaya untuk kawasan Monas yang diketuai pakar arkeologi Mundardjito tak pernah memberikan rekomendasi buat penyelenggaraan Formula E. Namun, dalam surat permohonan izin ke Sekretariat Negara, Pemerintah Provinsi DKI mengklaim sudah mendapat restu tim itu. Belakangan, klaim itu dikoreksi sebagai salah tik.
Penolakan Mundardjito dan timnya tak bisa dianggap enteng. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, revitalisasi sebuah kawasan cagar budaya harus memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan lanskap budaya asli. Rekomendasi tim ahli cagar budaya menjadi penting dalam konteks peraturan itu.
Proses pemberian izin dari Sekretariat Negara juga tak transparan. Setelah menolak pelaksanaan Formula E di kawasan cagar budaya, hanya berselang dua hari, Menteri Sekretaris Negara Pratikno meralat keputusan anak buahnya dan menandatangani izin balap mobil di Monas. Perubahan drastis itu disebut-sebut berkat campur tangan Presiden Joko Widodo. Kesepakatan politik apa yang terjadi antara Anies dan Jokowi seputar izin Formula E ini harus dijelaskan secara transparan ke publik.
Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995, setiap perubahan peruntukan kawasan Monas harus disetujui Komisi Pengarah yang beranggotakan Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ketika Gubernur Anies mulai merombak kawasan itu, dia rupanya belum mengantongi izin Komisi Pengarah.
Kontrak antara PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan pemilik lisensi Formula E tak kalah tertutup. Hak dan kewajiban Jakpro sepanjang masa kontrak yang berlaku selama lima tahun tak pernah terang. Ini jelas mengkhawatirkan. Jangan sampai pemerintah terseret-seret jika ada masalah hukum dan finansial di kemudian hari. Yang jelas, ketika meninjau opsi lokasi sirkuit di Jakarta, delegasi Formula E Operations Limited (FEO), sebagai wakil pemilik lisensi, bisa secara sepihak memilih Monas sebagai arena balap mereka. Patut disayangkan, pemerintah DKI manut saja.
Kisruh tentang penyelenggaraan Formula E di Monas mengajari kita soal pentingnya transparansi dan ketaatan pada peraturan dalam pengelolaan negara. Membangun citra positif Ibu Kota merupakan kerja panjang dan takbisa instan. Jika lebih banyak mendatangkan mudarat, balapan itu sebaiknya dibatalkan saja.