Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPOLISIAN tak perlu sibuk mempertimbangkan sanksi untuk anggotanya yang memilih menjadi pegawai tetap Komisi Pemberantasan Korupsi. Sungguh tak bijak menganggap perbuatan para penyidik yang memilih bertahan di lembaga antirasuah itu sebagai desersi. Kebebasan memilih pekerjaan merupakan bagian dari hak asasi yang dijamin konstitusi.
Lima penyidik asal kepolisian yang hijrah ke Komisi—sampai akhir tahun ini jumlahnya diperkirakan bertambah menjadi 28 orang—bukanlah pengkhianat institusi. Justru kehadiran mereka menjadi bukti keberhasilan rekrutmen kepolisian, baik secara profesional maupun moral. Merekalah bukti bahwa masih ada polisi yang ingin menegakkan hukum dan memberantas korupsi.
Sesungguhnya kepolisian mesti memandang perkembangan ini sebagai kritik dan bukan pengkhianatan terhadap institusi. Tapi reaksi keras Wakil Kepala Kepolisian untuk mengirim provos buat menangkap penyidik yang menolak kembali ke pangkuan korps menunjukkan instansi itu tidak melihat ”eksodus” ini sebagai cermin untuk berkaca diri.
”Kriminalisasi” atas para penyidik polisi di Komisi itu akan membuat perseteruan KPK-kepolisian yang sudah menjadi konsumsi publik ini memperburuk citra korps kepolisian. Dulu publik mengenal kasus ”Cicak vs Buaya”. Bila ketegangan jilid kedua berupa ”kriminalisasi” penyidik polisi ini terus berlanjut, yang akan kembali terkena getah adalah kepolisian. Orang ramai seolah-olah disuguhi ”pertunjukan” dengan lakon yang mirip cerita film Good Cop Bad Cop.
Ada baiknya kepolisian tidak meletakkan wibawa lembaga terlalu tinggi di atas perjuangan memerangi korupsi. Menghadapi pertikaian KPK-polisi, simpati rakyat dipastikan mengalir deras kepada Komisi, tumpuan harapan orang saat lembaga penegak hukum lain justru dibalut berbagai kasus korupsi. Membonsai kewenangan KPK boleh jadi merupakan tindakan populer di kalangan anggota parlemen dan elite yang korup, tapi tidak di mata publik.
Reaksi keras sebagian masyarakat, terutama penggiat antikorupsi, atas penarikan penyidik polisi di KPK merupakan salah satu bukti. Tindakan kepolisian itu boleh dibilang menggenapi sekian banyak usaha melemahkan Komisi. Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat menolak komisi antikorupsi membangun gedung sendiri, memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit kinerja KPK, dan belum lama ini mencoba memasung kewenangan Komisi dengan mengusulkan revisi undang-undang KPK.
KPK pasti melemah tanpa penyidik polisi. Sejumlah kasus korupsi bisa-bisa telantar. Penyidik yang tersisa, sekitar 50 orang, tentu akan kewalahan jika dibebani kasus yang ditinggalkan bekas koleganya. Kendati kepolisian berjanji segera mengirim penyidik pengganti, kinerja KPK akan tetap terganggu karena penyidik baru membutuhkan empat bulan masa adaptasi sebelum berfungsi optimal.
Untuk mengatasi krisis, sudah tepat tindakan Komisi menawari para penyidik polisi yang memiliki integritas tinggi untuk bekerja sebagai pegawai tetap. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK memungkinkan hal itu.
Ironis sekali jika kepolisian terus melanjutkan ”kriminalisasi” ini. Mengorek kesalahan masa lalu penyidik yang memilih bergabung dengan KPK akan terkesan seperti menepuk air di dulang. Selain kelihatan mencari-cari, tindakan itu hanya menunjukkan kepolisian bergerak berlawanan arah dengan perjuangan mengikis korupsi.
berita terkait di halaman 44
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo