Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasandung wohing pralaya,
Kaselak banjir ngemasi…
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELALU muram, menakutkan, selalu apokaliptik. Apa yang sering disebut sebagai “ramalan” dalam pelbagai karya sastra Jawa hampir selamanya distopia, imajinasi tentang masa depan yang membungkam harapan baik di hari nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas kita baca potongan kata-kata yang konon diucapkan Sabdo Palon, seorang pendeta di masa akhir Majapahit, pembela identitas “Jawa”—meskipun mungkin sekali ia tokoh fiktif—di hadapan sesuatu yang mengancam. Dengan menggunakan kerusakan alam sebagai pasemon, ia tak membicarakan malapetaka perubahan iklim, melainkan guncangan sosial-politik.
Udan barat salah mangsa,
Angin gung anggegirisi,
Kayu gung brasta sami,
Tinempuhing angina angun,
Katah rebah amblasah,
Lepen-lepen samya banjir,
Lamun tinon pan kados samodra bena.
Hujan angin salah musim
Badai deras menakutkan,
Merobohkan pepohonan besar
Yang terlanda, semua
Bergelimpangan, berantakan
Dan sungai-sungai yang banjir
Tampak seperti lautan.
“Sabda Palon”, entah siapa sebenarnya penulisnya, mendeskripsikan tatanan yang runtuh, ketika batas-batas yang dipatuhi hilang. Di sana diuraikan kejatuhan Majapahit, yang terkenal dilambangkan sebagai sirna ilang kertaning bumi atau “punahnya kesejahteraan semesta”, ketika kerajaan Hindu Jawa itu melorot, bersama datangnya “zaman Islam”.
Mungkin teks itu ditulis sekian abad pasca-Majapahit, ketika sejarah Jawa berubah jadi cerita kerajaan-kerajaan Islam yang tak henti-hentinya diguncang perang perebutan takhta, sejak Demak di abad ke-15 sampai dengan Mataram di abad ke-19—ketika tak ada lagi karya monumental seperti kitab Nagarakretagama dan Candi Borobudur dan Prambanan.
Pola apokaliptik ini juga tampak dalam “ramalan” yang lebih termasyhur, yang diduga ditulis di abad ke-17, Jangka Jayabaya—meskipun dalam teks yang beredar kini kita temukan bahasa abad ke-20 ( kata “rakyat”, “buruh”). “Ramalan” dimulai dengan bait-bait tentang mobilitas manusia yang berubah. Pulau Jawa berkalung besi (artinya “akan dililit rel kereta api”), dan kendaraan bergerak tanpa kuda, dan perahu berjalan di angkasa....
Tapi Jangka Jayabaya bukan cerita tentang perubahan teknologi transportasi yang memikat. Bahkan itu semua pertanda “zaman kalabendhu”, tatkala, menurut penyusun nubuat yang tak berbahagia ini, khaos merajalela dan penduduk serba terpojok.
Kana-kene saya angkara murka
(Di mana-mana angkara murka menjadi-jadi)
Sing weruh kebubuhan
(Mereka yang berpengetahuan terkena beban)
Sing ora weruh ketutuh
(Mereka yang tak berpengetahuan disalahkan)
Para literati yang menulisnya (atau yang mengartikannya berkali-kali) tampak mencemaskan perubahan. Mungkin mereka—kebanyakan pujangga keraton—orang-orang tua yang menanggungkan masa akhir hidup mereka dengan encok.
Atau mungkin mereka sejumlah orang yang posisinya tergerus. Sebab sebenarnya bisa juga dilihat, deretan keburukan yang mereka gambarkan akan berlangsung itu lebih merupakan kritik sosial kepada keadaan yang sedang dialami. “Ramalan” Kalatida Ranggawarsita, misalnya, bisa dibaca sebagai suara keluh kesah sang penyair tentang nasib dirinya dan situasi buruk yang mengitarinya—yang ia nilai sebagai “zaman edan”. Mungkin karena tak berani berterus terang, kekacauan sosial diletakkannya sebagai “kelak”, bukan gambaran “kini”, ketika sang penyair hidup dalam pengawasan istana.
Dalam pada itu, Jayabaya memaparkan keburukan yang akan dan telah terjadi dengan ukuran nilai yang tak baru: munculnya para penipu, berjayanya para pendusta, dan seterusnya.
Dasar ethiknya konservatif, bahkan reaksioner. Teks Jayabaya, misalnya, melihat status sebagai takdir yang dilanggar: “Bupati dadi rakyat/Wong cilik dadi priyayi”.
Dan ketika perubahan sosial dikeluhkan sebagai hilangnya ketetapan makna, sang penggubah “ramalan” ini terasa doktriner. Baginya “edan”—situasi buruk—adalah ketika hidup menampakkan kacaunya sistem simbolik.
Dalam “ramalan” Sabdo Palon, misalnya, sungai akan tinon pan kados samodra bena, tampak seperti lautan. Dengan kata lain, ambiguitas merisaukan. Kekacauan adalah keadaan ketika “gagak hitam disebut bangau putih”, dhandhang diunekake kuntul, dan “timah dianggap perak, emas disebut tembaga”.
Apokalipse Jayabaya adalah ketika perbedaan tak lagi dilembagakan dengan penanda yang pasti; percampuran, atau alih peran, jadi pola yang negatif:
Jaran doyan mangan sambel
(Kuda suka makan sambal)
Wong wadon nganggo pakeyan lanang
(Perempuan berpakaian pria)
Dalam hubungan itu tiap konflik dilihat dengan sendirinya sebagai tak wajar. Di beberapa baris teks ini memang ada sikap yang membela yang tertindas, kaum tani yang dibelenggu. Tapi, di bagian lain, naskah Jayabaya mengecam keadaan ketika “Akeh buruh nantang juragan”, banyak buruh melawan majikan.
“Ramalan” itu pada dasarnya sebuah gugatan. Ia ingin dikesankan sebagai rasa risau kepada sebuah situasi buruk. Tapi sebenarnya ia diutarakan dengan geraham yang tak gemertak marah. Deskripsi “muram” Jayabaya dibangun dari bunyi rima kalimat yang nyaman:
Sing ne-kat mbre-kat.
Sing jer-ih ketin-dhih.
Terasa suara sang pujangga bukan suara protes. Apokalipsenya manis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo