Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Gus dur: bukan sekadar ikut-ikutan

19 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menarik sekali membaca wawancara TEMPO dengan Abdurrahman Wahid (TEMPO, 29 Desember 1990, Prospek 1991). Wawancara tersebut mengungkapkan pandangan-pandangan Gus Dur tentang perkembangan umat Islam sekarang. Setidaknya, dari wawancara itu, kita dapat melihat latar belakang sikap Gus Dur yang berbeda dengan umat lslam pada umumnya, terutama dalam soal yang berkaitan dengan Monitor dan ICMI. Sikap itu sempat menimbulkan berbagai kritik dari kalangan Islam sendiri. Terlepas dari keruwetan-keruwetan sebagaimana yang disinyalir, bagi saya, sikap Gus Dur dalam dua peristiwa di atas mempunyai arti positif. Selama ini memang banyak ketidaksetujuan yang dilontarkan bagi berlakunya lembaga SIUPP. Alasannya, bukan hanya karena lembaga ini dianggap telah memenggal kewenangan hukum, tapi juga menentukan bersalah tidaknya media massa dalam menjalankan kebebasan pers. Lebih dari itu, pencabutan SIUPP juga memakan korban para pencari nafkah pada media yang dicabut SlUPP-nya. Memang, premis kita adalah pengertian-pengertian kebebasan pers dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Tapi yang terjadi pada waktu lalu adalah meminta pemerintah untuk mencabut SIUPP Monitor. Ini mencerminkan sikap yang sama sekali berbeda dengan premis sebelumnya. Tentu saja, hal ini dapat terjadi pada siapa pun, bukan hanya milik umat Islam. Dan pemerintah adalah lembaga yang berwenang untuk melakukan pencabutan itu. Namun, permintaan itu sendiri tidaklah mencerminkan bahwa dalam persoalan-persoalan demokratis, sering kita tidak konsisten. Ini bukan berarti membela Monitor. Sebab, untuk apa membela koran yang mengeksploitasi paha dan dada sebagai penglaris. Dalam pola pikir yang sama, hal ini juga terjadi pada keengganan Gus Dur masuk ICMI, yang sempat disinyalir sebagai penyakit kronis cendekiawan (TEMPO, 5 Januari 1990, Komentar). Dan sampai saat ini masih banyak kecaman terhadap menonjolnya birokrasi pada sebagian besar aspek kehidupan. Karena itu pula orang sempat ragu akan kemampuan ICMI dalam mewadahi umat Islam. Hal ini bukan saja karena anggotanya dari kalangan pemerintah, tapi juga jika pada suatu saat ICMI berhadapan dengan keputusan pemerintah. Kendati kekhawatiran itu belum tentu terbukti, melihat kondisi yang ada dan pengalaman-pengalaman selama ini, timbulnya pikiran tersebut adalah logis. Demikian pula halnya jika ICMI terlibat dalam masalah muslim kaki lima. Adakah logika demikian merupakan penyakit kronis? Memang, sebagaimana layaknya organisasi, NU dan juga ormasormas lainnya tidak lekang dari birokrasi dalam gerak langkahnya. Tapi sebagai organisasi memasyarakat, anggota-anggota NU lebih bervariasi. Maka, keputusan Gus Dur untuk tetap berada di luar ICMI, dan mengurusi muslim kaki lima, bukanlah keputusan yang aneh, apalagi kronis. Dan sebagai Ketua NU, Gus Dur tentu mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk mewujudkan komitmennya terhadap muslim kaki lima ketimbang di ICMI sebagai anggota. KARTONO, S.H. Jalan Gunung Muria 853 Purwokerto Jawa Tengah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus