Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Gus, Pergilah ke Amerika!

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Smita Notosusanto Warga negara Indonesia, mewakili diri sendiri

BARU-baru ini Presiden Megawati Soekarnoputri menganjurkan agar Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya mengunjungi Amerika Serikat. Anjuran Mega itu berpangkal pada satu kebijakan imigrasi pemerintah AS yang dikeluarkan pada Januari ini. Departemen Kehakiman AS telah memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara yang terkena kewajiban "pendaftaran khusus dan pengambilan sidik jari" bagi warganya di Amerika yang berjenis kelamin pria dan berusia 16 tahun.

Langkah itu adalah salah satu upaya pemerintah AS untuk meningkatkan pengawasan terhadap warga asing yang berada di negeri itu setelah serangan teroris ke gedung World Trade Center pada 11 September 2001. Sampai saat ini, mayoritas penduduk di 24 dari 25 negara yang masuk daftar tersebut adalah pemeluk Islam?Korea Utara merupakan satu-satunya negara non-Islam. Kecuali Indonesia, Bangladesh, dan Pakistan, negara-negara Islam yang masuk daftar tersebut berada di Timur Tengah.

Kebijakan ini?akan diterapkan pada 2005?menimbulkan reaksi keras karena dianggap diskriminatif terhadap negara-negara Islam. Departemen Kehakiman AS berdalih, negara-negara ini dimasukkan ke daftar karena dianggap menjadi sarang terorisme, khususnya jaringan Al-Qaidah. Tidak jelas apakah memang ada indikasi jaringan Al-Qaidah di Korea Utara.

Pertanyaannya: kenapa 24 dari 25 negara pertama yang dipilih adalah negara Islam? Kalau memang keberadaan jaringan Al-Qaidah dijadikan tolok ukur, mengapa Indonesia masuk daftar sedangkan Malaysia, yang juga menjadi basis Jamaah Islamiyah yang punya kaitan dengan Al-Qaidah, tidak masuk daftar tersebut?

Selain Korea Utara, negara non-Islam yang pernah masuk daftar tersebut adalah Armenia. Serta-merta pemerintah Armenia?melalui duta besarnya di Washington?mengajukan protes keras kepada pemerintah AS. Alasannya, mayoritas penduduk Armenia memeluk agama Kristen. Alhasil, Departemen Kehakiman AS langsung menarik Armenia dari daftar. Pemerintah AS juga meminta maaf karena "telah terjadi kesalahpahaman dalam memasukkan Armenia ke daftar tersebut." Ini makin memperkuat kesimpulan bahwa negara-negara Islam merupakan target dari kebijakan ini.

Reaksi keras juga timbul dari para aktivis hak asasi manusia di AS?terutama diwakili oleh Amnesty International dan American Civil Liberties Union (ACLU), yang gigih memperjuangkan hak-hak sipil dan politik di AS. Menurut mereka, kebijakan ini adalah racial profiling yang dilakukan oleh pemerintah Nazi Jerman terhadap kelompok Yahudi pada Perang Dunia II. Banyak penggiat hak asasi manusia di Amerika mencemaskan bahwa kebijakan ini dapat mengulang kembali tindakan pengasingan kelompok etnis tertentu. Warga AS keturunan Jepang pernah mengalami hal itu setelah penyerangan Jepang ke Pearl Harbor pada 1941.

Kebijakan ini makin kontroversial dengan penangkapan 700 warga asing dari Timur Tengah. Alasan penangkapan adalah pelanggaran imigrasi karena mereka telah melampaui batas izin tinggal yang tercantum dalam visa mereka. Padahal sebagian besar dari mereka telah melamar untuk menjadi warga negara AS dan sedang menunggu proses penyelesaian green card yang berlarut-larut karena birokrasi di kantor imigrasi AS sendiri.

Lebih buruk lagi, ada warga Pakistan yang visa kunjungannya masih berlaku turut ditangkap oleh petugas imigrasi AS. Akibatnya, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh warga imigran dari Timur Tengah di kota-kota besar Amerika. Kini sebagian besar warga asing di AS enggan datang secara sukarela ke kantor imigrasi untuk mendaftar.

Pihak ACLU juga mempertanyakan penangkapan oleh kantor imigrasi. Padahal Kongres AS hanya memberikan mandat untuk mendaftarkan warga asing. Situasi ini jauh berbeda dari propaganda pemerintah Amerika tentang toleransi terhadap kelompok minoritas muslim di AS yang ditayangkan di media massa di negara-negara Islam, termasuk Indonesia.

Sebagai warga dunia yang memegang aturan sopan santun internasional, kita harus menaati peraturan hukum negara yang sedang kita kunjungi. Tapi apakah peraturan ini memang dibuat berdasarkan informasi yang lengkap, berdasarkan konsultasi yang menyeluruh dengan semua pihak terkait di dalam dan luar negeri Amerika, serta melalui persiapan yang matang?

Tampak sekali bahwa Departemen Luar Negeri AS kurang diajak berkonsultasi sebelum kebijakan ini ditetapkan. Demi hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Indonesia?terutama dalam upaya memerangi terorisme?kita pantas mendapat penjelasan yang adil dan netral tentang kebijakan ini.

Jadi, ini justru saat yang tepat bagi Gus Dur untuk memainkan peran sebagai negarawan serta membantu diplomasi publik Indonesia dengan memberikan pencerahan mengenai Islam di Indonesia.

Gus, sebagai seorang bekas presiden dari negara Islam terbesar di dunia, bertarung memerangi xenophobia internasional lebih terhormat daripada bertarung lagi untuk memperebutkan kursi presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus