Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Air Bersih adalah Hak Asasi Manusia

Negara gagal menyediakan air bersih untuk semua lapisan masyarakat. Kembalikan air sebagai barang publik.

7 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah studi menemukan adanya partikel mikroplastik dalam sampel air minum kemasan.

  • Hasil riset itu menyingkap kegagalan negara menyediakan air bersih untuk semua warganya.

  • Negara wajib mengembalikan status air bersih sebagai barang publik yang mudah diakses oleh semua anggota masyarakat.

RIBUT-RIBUT soal kandungan mikroplastik dalam air minum kemasan tak hanya mengindikasikan adanya “perang dagang” di antara sesama perusahaan air mineral. Lebih serius, hal itu menyingkap kegagalan negara dalam menyediakan air bersih dan layak minum untuk semua warga negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah studi menemukan adanya partikel mikroplastik dalam sampel air minum kemasan. Riset Greenpeace Indonesia dan Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia pada September 2021 menemukan 85-95 juta partikel mikroplastik per liter air kemasan sekali pakai—hampir tiga kali lipat kadar mikroplastik pada air dari sumber alami. Tim peneliti juga meyakini jumlah partikel mikroplastik bisa lebih banyak pada air minum kemasan isi ulang. Sebab, proses cuci-pakai galon serta penyimpanan dalam waktu lama rawan melepaskan mikroplastik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahli ekotoksikologi dari Vrije Universiteit Amsterdam untuk pertama kalinya menemukan mikroplastik dalam darah manusia. Tayang di Journal Environment International edisi online pada 24 Maret 2022, laporan itu menyimpulkan mikroplastik telah diserap oleh tubuh manusia. Memang belum jelas betul apa bahaya mikroplastik pada kesehatan manusia. Tapi kita tak boleh lengah seraya menunggu bencana akibat dampak buruk mikroplastik.

Di luar itu, hak atas air bersih telah menjadi bagian dari hak asasi manusia. Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2002 menyatakan hak atas air bersih tak bisa dipisahkan dari hak mendasar lain, seperti hak untuk hidup dan kesehatan. Implikasinya, setiap negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas air bersih semua warganya.

Jauh sebelum kesepakatan komite PBB itu, konstitusi kita juga mengatur kewajiban negara dalam mengelola sumber daya air. Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 tegas menyatakan bahwa negara menguasai sumber daya air dan menggunakannya untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Faktanya, setelah berkali-kali ganti presiden, pemerintah kita gagal memenuhi kebutuhan rakyat akan air bersih.

Kesalahan bermula ketika pemerintah mengalihkan urusan penyediaan air bersih dari badan usaha milik negara/daerah kepada swasta. Setelah meneken kontrak, pemerintah tak serius mengontrol swasta. Akibatnya, air bersih yang seharusnya tersedia sebagai barang publik yang bisa diakses dengan gratis menjadi komoditas ekonomi yang hanya bisa diperoleh dengan biaya mahal.

Di banyak tempat, terutama di kawasan kumuh dan miskin di kota besar, warga tak punya pilihan selain menggunakan air minum kemasan. Sebab, air sumur tak bisa dikonsumsi karena tercemar bakteri. Pemerintah dan swasta pun tak menyediakan jaringan pipa air bersih yang memadai. Celakanya, selain membayar mahal, penduduk miskin kini harus menerima kenyataan pahit: air minum kemasan tercemar mikroplastik pula.

Pemerintah bahkan lalai memperingatkan bahaya mikroplastik dalam air kemasan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebetulnya telah merancang aturan yang mewajibkan pencantuman peringatan tentang bahaya Bisphenol A (BPA)—senyawa kimia berbahaya dalam mikroplastik—pada galon air minum pakai ulang. Namun nasib aturan yang ditentang sebagian produsen air minum kemasan itu tak kunjung jelas, meski BPOM telah mengirimkan drafnya ke kantor Sekretariat Negara.

Sebelum semuanya terlambat, negara wajib mengembalikan status air bersih sebagai res commune alias barang publik yang mudah diakses oleh masyarakat. Air bersih tak boleh menjadi komoditas ekonomi yang harganya diserahkan kepada pasar. Kalaupun pemakai air bersih perlu membayar, tarifnya harus terjangkau dan tidak menggerus daya beli untuk memenuhi kebutuhan pokok lain.


Baca liputannya:


Bila terbentur keterbatasan teknologi dan permodalan, pemerintah bisa saja menggandeng swasta dalam penyediaan air bersih. Tapi, atas nama negara, pemerintah harus memastikan distribusi air bersih oleh swasta memenuhi kebutuhan pokok semua lapisan masyarakat. Pemerintah tak boleh membebankan semua biaya produksi dan keuntungan perusahaan swasta kepada masyarakat. Anggaran negaralah yang harus menyubsidi selisih biaya itu.

Dengan segala kewenangannya, negara harus hadir untuk memenuhi kebutuhan air bersih untuk menjamin hak hidup serta kesehatan semua warga.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hak Asasi Akses Air"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus