Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Hak Asasi dan Kejahatan tanpa Pelaku

Memasuki 2020, tampaknya pekerjaan rumah dalam menyelesaikan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) masa lalu masih menjadi agenda yang harus selesaikan.

28 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amiruddin al Rahab
Komisioner Komnas HAM, Staf Pengajar Universitas Bhayangkara Jaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memasuki 2020, tampaknya pekerjaan rumah dalam menyelesaikan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) masa lalu masih menjadi agenda yang harus selesaikan. Itulah realitas hak asasi manusia yang paling merisaukan sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejahatan yang sampai kini pelakunya belum terjerat hukum itu dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Antonio Cassese (2002) menekankan bahwa kejahatan ini dimungkinkan terjadi karena adanya dukungan negara atau karena bagian dari kebijakan pemerintah. Rakyat Indonesia mengenal kejahatan seperti itu sebagai pelanggaran HAM berat.

Sebuah pemerintahan yang tidak menegakkan hukum terhadap pelaku kejahatan berarti memberikan impunitas. Ini merupakan pelanggaran hak asasi karena mencederai harkat kemanusiaan para korban untuk kedua kalinya.

Sesungguhnya, memproses secara hukum para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara yang kini mendesak dan mendasar. Mendesak karena mempertaruhkan sejarah bangsa dan menyangkut masa depan kemanusiaan kita sebagai bangsa. Mendasar karena berkaitan dengan harkat dan martabat manusia yang menjadi korban maupun pelaku itu sendiri.

Sejak reformasi, Indonesia mencatat ada dua jenis kejahatan baru yang diatur khusus dalam Undang-Undang Pengadilan HAM, yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dua kejahatan ini di Indonesia dikenal dengan istilah pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights) atau dalam khazanah hak asasi internasional disebut sebagai kejahatan serius. Jenis kejahatan ini tidak masuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pasal 9 Undang-Undang Pengadilan HAM menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah "perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil". Undang-undang itu menugaskan Komisi Nasional HAM menjadi penyelidiknya dan Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut. Para pelaku kejahatan ini akan dituntut di Pengadilan HAM.

Sejak 2000 sampai 2019, Komisi telah menyelesaikan penyelidikan atas 14 kasus yang patut diduga memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Tiga kasus telah disidik oleh Jaksa Agung dan semua pihak yang diduga sebagai pelaku telah dituntut di pengadilan. Kasus-kasus itu adalah Peristiwa Timor Timur setelah jajak pendapat; Peristiwa Tanjung Priok pada 1984; dan Peristiwa Abepura, Papua, pada 2000.

Namun 12 kasus lain belum diproses secara hukum. Kasus itu adalah peristiwa Wamena pada 2003; Wasior pada 2002; Talangsari pada 1989; peristiwa 1965/1966; peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II pada 1998; kerusuhan Mei 1998; penghilangan orang pada 1997; Peristiwa Rumah Geudong, Aceh, pada 1989-1999; Peristiwa Simpang KKA, Aceh, pada 1998; Peristiwa Jambo Keupok, Aceh, pada 2003; pembunuhan dukun santet di Jawa Timur pada 1998; dan penembakan misterius pada 1986.

Dari kesaksian para korban kepada Komisi dapat dilihat betapa rendahnya cara aparat negara dalam memperlakukan rakyat. Selain itu, betapa sembrononya dan tanpa kendali cara kerja aparat di lapangan saat itu. Dalam kesaksian korban itu tampak kekerasan oleh aparat terjadi dalam waktu yang panjang. Ruti G. Titel (2004) menulis dalam buku Keadilan Transisional bahwa kejadian-kejadian seperti itu biasanya sebagian besar dipicu dan didukung oleh kebijakan negara.

Dari 12 kasus itu, negara hingga kini belum bisa menunjukkan pelaku yang paling bertanggung jawab secara hukum karena kasus ini mandek di Jaksa Agung. Karena penyidikan belum ada, pengadilan HAM untuk memeriksa dan menuntut orang-orang yang diduga sebagai pelaku juga belum bisa dilakukan.

Implikasinya, dugaan terjadinya kejahatan dalam peristiwa-peristiwa itu secara hukum tidak kunjung bisa diklarifikasi. Korban juga belum mendapat kepastian hukum mengenai apa sesungguhnya yang menimpa diri mereka. Selain itu, orang-orang yang diduga bertanggung jawab juga tak kunjung mendapatkan kepastian hukum mengenai dirinya.

Lantas, apa jalan keluar? Sesuai dengan undang-undang, tersedia dua jalan. Pertama, membuka pengadilan berdasarkan hasil penyidikan dari Jaksa Agung, kemudian menuntut para pelaku di Pengadilan HAM.

Kedua, menyimpangi langkah hukum pidana dengan membentuk satu prosedur pertanggungjawaban baru dengan dasar perundangan-undangan yang memungkinkan pemulihan hak-hak korban serta memungkinkan para pelaku untuk mengakui perbuatannya serta memohon maaf kepada segenap korban dan keluarganya. Untuk langkah kedua ini, otoritasnya ada pada presiden sebagai kepala negara.

Agar ada kepastian bagi masa depan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia, kejahatan tanpa pelaku ini harus diakhiri. Bukan saja demi hak-hak para korban dan kepastian hukum, tapi juga demi masa depan bangsa agar negara ini lebih berkomitmen pada nilai-nilai hak asasi manusia dan sistem politik yang demokratis.

 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus