Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Usman Hamid
Pendiri Public Virtue dan Direktur Amnesty International Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Masyarakat Papua menghadapi tantangan serius selama pandemi Covid-19. Selain berjuang melawan virus mematikan itu, mereka mengalami ancaman dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi. Meskipun hak asasi manusia dijamin oleh hukum, dalam praktiknya, pelanggaran terhadap hak untuk berkumpul secara damai terus terjadi. Salah satunya adalah pemenjaraan terhadap aktivis asal Papua yang memprotes insiden rasisme di Malang dan Surabaya pada Agustus tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selama ini aparat keamanan sering menggunakan langkah-langkah represif, baik terhadap protes biasa maupun ekspresi politik aktivis pro-kemerdekaan. Mereka membubarkan protes damai, melakukan penangkapan massal, dan penuntutan berdasarkan pasal-pasal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal yang digunakan kebanyakan berdasarkan pasal-pasal kejahatan terhadap keamanan negara.
Berdasarkan penelitian Amnesty International, setidaknya 96 orang Papua telah ditangkap karena menggunakan hak mereka untuk berkumpul secara damai, berserikat, dan kebebasan berekspresi sehubungan dengan insiden rasisme di Malang dan Surabaya. Sayangnya, para pelaku insiden rasisme itu hanya divonis ringan, 5-10 bulan penjara. Adapun aktivis mahasiswa Papua, seperti Ferry Kombo dkk; atau aktivis politik Papua, seperti Buchtar Tabuni, Agus Kossay, dkk, justru dituntut dengan hukuman yang sangat berat.
Negara seharusnya memastikan bahwa polisi ada di Papua untuk melindungi hak mereka yang ingin berkumpul secara damai, tidak menggunakan kekuatan secara sewenang-wenang, apalagi menginjak-injak hak-hak itu. Menggunakan kekuatan berlebihan tidak dapat diterima dalam hukum internasional. Tidak seorang pun harus ditangkap semata-mata karena menjalankan hak asasi mereka secara damai.
Hak untuk kebebasan berkumpul dan berserikat dijamin untuk semua orang di Indonesia di bawah perjanjian hak asasi manusia internasional, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Indonesia juga memiliki Undang-Undang Dasar 1945 beserta peraturan perundangan nasional yang melindungi asosiasi damai. Polisi juga memiliki peraturan internal yang meminta penghormatan terhadap hak asasi manusia, seperti Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penerapan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia untuk Polisi.
Sampai 8 Juni lalu, masih ada 44 tahanan politik dari Papua di balik jeruji besi, termasuk aktivis politik dan pembela hak asasi manusia. Mereka semua didakwa dengan pasal-pasal yang berbau pengkhianatan terhadap negara, yang diancam penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara. Pemerintah Indonesia, melalui perangkat kejaksaan, telah menggunakan ketentuan hukum pidana seperti ini untuk menuntut puluhan aktivis politik pro-kemerdekaan selama dekade terakhir.
Jika pemerintah sungguh-sungguh berkomitmen untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Papua, atas nama kemanusiaan pemerintah harus membebaskan orang-orang Papua yang ada di penjara karena alasan politik. Pembebasan mereka menjadi penting karena, pada 25 Maret, Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, memperingatkan pemerintah tentang konsekuensi “bencana kesehatan” bagi tahanan. Peringatan ini juga dimaksudkan agar setiap negara dapat mengatasi kepadatan penjara dan kondisi penahanan yang buruk selama masa pandemi Covid-19.
Bachelet meminta agar tahanan politik masuk daftar pertama narapidana dan tahanan yang dibebaskan. Ini artinya negara diharapkan membebaskan semua tahanan hati nurani (prisoners of conscience), aktivis politik, pembela hak asasi manusia, dan lainnya yang dipenjara semata-mata karena menjalankan hak-hak mereka dengan damai. Mereka harus segera dibebaskan dan tanpa syarat.
Pemerintah harus membedakan orang yang secara damai mengadvokasi hak penentuan nasib sendiri dari mereka yang menggunakan kekerasan atau menggunakan ekspresi yang menghasut diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Ekspresi mereka adalah bagian dari hak atas kebebasan berpikir di masyarakat.
Atas seruan itu, pemerintah merespons dengan membebaskan lebih dari 30 ribu narapidana. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia benar saat menyatakan bahwa yang membuat pemerintah ingin membebaskan narapidana adalah padatnya lembaga pemasyarakatan karena kebijakan itu dapat meminimalkan risiko infeksi Covid-19 agar tak menjadi ancaman kesehatan bagi yang lain. Tapi mengapa tidak termasuk tahanan dan narapidana politik?
Ada ratusan orang berada di balik jeruji besi hanya karena menggunakan hak mereka untuk berekspresi dan berkumpul secara damai. Sekarang mereka dihadapkan pada risiko yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak dapat diterima oleh kesehatan mereka. Pemerintah harus memastikan agar mereka memiliki akses yang cepat ke layanan medis dan perawatan kesehatan dengan standar sama yang tersedia di masyarakat, termasuk pengujian, pencegahan, dan perawatan Covid-19. Melindungi hak tahanan nurani dalam hal kesehatan sama pentingnya dengan melindungi hak mereka atas kebebasan berekspresi.
Namun, yang tidak kalah penting, pemerintah sebaiknya menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap aktivis-aktivis yang mengangkat masalah Papua. Intimidasi, apalagi kriminalisasi berupa tindak penangkapan, hanya menambah sesak penjara dan membuat klaim-klaim pemerintah semakin kehilangan kredibilitas.