Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono harus bisa menjadi juru damai antara pihak Gereja Kristen Indonesia Yasmin dan kelompok penentangnya serta Wali Kota Bogor. Kasus yang bergulir sejak Pemerintah Kota Bogor membekukan izin mendirikan bangunan Gereja Yasmin pada 2008 ini telah menyemai bibit konflik antaragama. Kontroversi rencana pembangunan rumah ibadah di Kelurahan Curug Mekar, Bogor, ini bukan lagi sekadar sengkarut prosedural, melainkan sudah memasuki ranah pelanggaran hakiki, yaitu penindasan terhadap hak beribadah kaum minoritas.
Presiden Yudhoyono mungkin merasa terbelenggu sebagai eksekutif, karena menurut undang-undang otonomi daerah, presiden tak bisa memecat kepala daerah, meski melanggar konstitusi. Namun Presiden bisa memanfaatkan kapasitas sebagai kepala negara. Pemimpin negara punya legitimasi kuat untuk bertindak demi mempertahankan hak-hak warga yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945—salah satunya hak beragama.
Tindakan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, ketika mempertahankan pembangunan masjid di Ground Zero, New York, patut ditiru. Di tengah antipati warga Amerika terhadap Islam dan masih kuatnya persepsi traumatis atas tragedi 11 September 2001, yang meruntuhkan World Trade Center di Manhattan, Obama bersikap tegas. Landasan pembelaan yang digunakannya, umat Islam punya hak yang sama dengan penganut agama lain untuk beribadah dengan bebas; dan komitmen terhadap kebebasan beragama harus tetap tak tergoyahkan.
Mendudukkan persoalan dengan jelas sangatlah penting. Kita melihat, Wali Kota Bogor Diani Budiarto telah mengabaikan hukum. Izin mendirikan bangunan Gereja Yasmin, yang keluar pada Juli 2006, dibekukan pada Februari 2008 karena tekanan forum ulama dan organisasi Islam di Bogor. Diani juga tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan Kepala Dinas Tata Kota Bogor untuk meninjau ulang pembekuan izin mendirikan bangunan gereja, pada akhir 2010. Wali Kota memang mencabut surat pembekuan izin membangun Gereja Yasmin pada 8 Maret 2011, tapi kemudian mencabut sama sekali IMB gereja itu tiga hari kemudian. Semua tindakannya mengesankan kasus ini terbatas pada masalah prosedur perizinan.
Namun kasus Gereja Yasmin tidak berada di ruang hampa. Penyelesaian atasnya membuat publik bisa menilai seberapa kuat komitmen negara melindungi hak minoritas menjalankan agama dan kepercayaan. Apalagi pemerintah sudah memiliki sederet rapor buruk dalam menangani konflik akibat perbedaan agama dan kepercayaan serta penindasan terhadap kelompok minoritas. Pembunuhan anggota Ahmadiyah di Banten, pembakaran gereja di Klaten dan Tegal, Jawa Tengah, serta penghancuran patung Buddha di Sumatera Utara merupakan potret buram pengabaian hak asasi tersebut.
Masih banyak catatan hitam. Menurut Setara Institute, lembaga yang mengkaji soal kebebasan beragama dan pluralisme, sepanjang 2011 terjadi 244 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta mengakibatkan 299 tindakan kekerasan. Selama tahun yang sama juga muncul minimal lima aturan diskriminatif terhadap Ahmadiyah, yang disponsori Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama. Masih ada aneka peraturan daerah yang mendiskriminasi agama dan kepercayaan tertentu.
Jadi, yang dibutuhkan adalah kemauan politik Presiden Yudhoyono untuk bertindak menyelesaikan kasus Gereja Yasmin, dan kasus-kasus serupa. Bukan sebatas retorika, betapapun indahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo