Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Hak untuk tidak mengerti

Hak untuk tidak mengerti sesungguhnya diperlukan oleh semua orang. komunikasi bisa tidak relevan, karena semua orang harus mengerti atau terpaksa pura-pura mengerti. kumpulan orang itu akan jadi masyarakat beo

11 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WIDYONO (11 tahun) pulang sekolah dengan wajah murung. Barusan dalam pelajaran moral Pancasila, ia tersentak oleh komentar Pak Guru soal rambutnya. Katanya seorang Pancasilais tidak gondrong seperti Yono. Padahal selama ini ia yakin, rambutnya yang ikal dan tebal sepanjang tengkuk itu merupakan kebanggaan. Seperti selalu disanjung ibu bapak dan saudara-saudaranya. Juga dikagumi oleh teman-temannya. Dengan perasaan yang gundah, ia toh tanpa menunda-nunda mengambil gunting. Dimintanya bapaknya memotong mahkota kebanggaan dan harga dirinya. Karena lebih dari semua perasaan dan kerisauan berkenaan dengan soal rambutnya, kebajikan seorang Pancasilais yang digambarkan Pak Guru adalah juga kebajikan yang ia ingin punyai. Sesungguhnya ia tidak mengerti hubungan rambut dan Pancasilais mencoba menghubungkan rambut Toma dan Kojak dengan kebajikan mereka masing-masing. Juga rambut Bima dan Kala Bendana. Tetapi ia tidak yakin, dalam iklim pengajaran Pak Guru di sekolahnya apa ada hak untuk tidak mengerti. Karena itu, ia tidak bertanya dan tidak membantah. Seorang Dekan siang itu mengumpulkan mahasiswa tingkat sarjana muda untuk diajak rapat. Dengan bijaksana dan kasih sayang, ditanyakan apa ada soal-soal yang tidak difahami mahasiswa dalam penyelenggaraan perkuliahan. Soal keharusan hadir, soal kesempatan bertanya dan lain-lain. Karena Fakultas mengamati gejala kemerosotan kehadiran dan kemerosotan nilai ujian mereka. Secara mentakjubkan reaksi dan tanggapan mereka spontan. Silih berganti beberapa mahasiswa yang biasa beku di kelas, bangkit. Diraihnya corong pengeras suara dan mereka berpidato. Bahasanya lancar, fikirannya jernih, isinya jelas, tetapi semangatnya, ... astaga! Kata mereka, semua sudah mengerti maksud baik Dekan. Semua sudah mengerti dan sangat menghargai pertemuan tersebut. Semua mengerti akibat apa yang mungkin dihadapi bila tidak hadir kuliah. Bla bla bla mengerti dan bla bla bla mengerti. Karena mengerti, mereka usul untuk membentuk panitia untuk merumuskan apa yang sudah mereka mengerti itu. Tetapi hari-hari berikutnya perbaikan dan perobahan yang dikehendaki pertemuan tidak terjadi. Tingkat kehadiran tetap rendah, nilai tentu saja tetap rata-rata buruk. Dalam batin saya bertanya, apakah mereka sadar bahwa mahasiswa pun berhak untuk tidak mengerti. Tidak mengerti toh tidak usah berarti bodoh. Saya memperoleh kesan, ada semacam ketakutan yang tak beralasan di antara mereka untuk secara jujur mengatakan apa adanya. Termasuk mengatakan bila mereka sungguh-sungguh tidak mengerti. Rasanya ada hak yang sesungguhnya sangat diperlukan oleh semua orang, tetapi di sini hampir tak seorangpun ingin memiliki hak itu. Yaitu hak untuk tidak mengerti. Bayangkan bencana sosial yang kita hadapi, bila semua orang dilarang tidak mengerti. Saya kira konmnikasi bisa tidak relevan atau malah kacau-balau. Karena semua orang harus mengerti atau terpaksa pura-pura mengerti. Kumpulan orang semacam ini akan menjadi masyarakat beo atau robot dalam menangkap dan meneruskan pesan atau makna. Tetapi apakah kita semua sadar akan bahaya malapetaka uni? Saya sering tertegun menyaksikan akibat tidak digunakannya hak untuk tidak mengerti ini di satu pihak dan diobralnya hak dan kewajiban untuk membual, berpidato di pihak lain. Akibatnya banyak komunikasi, informasi dan pengajaran disampaikan berupa gumpalan slogan demi slogan. Kata bersambung yang berderet-deret itu sering disajikan seperti rituil, tanpa kejelasan pengertian. Karena merasa atau terpaksa merasa tidak ada yang tidak difahami, sementara mahasiswa mahaguru, politisi dan pemimpin masyarakat hilang selera pemahamannya. Yang ada selera untuk berpuisi dengan alunan suara dan rangkaian kata yang muluk-muluk. Enggan membaca, enggan belajar, enggan mengkaji tidak sudi bertanya biarpun tidak mengerti. Yang ada keinginan berpidato, menghafal jargon dan bersilat lidah. Dalam suatu pertemuan yang dihadiri banyak pamong desa, pak Camat secara berapi-api berpidato soal Demokrasi Pancasila, GBHN dan Pelita. Sebagian besar hadirin bengong, tetapi semua manggut-manggut. Untaian kata berantai tak bermakna itu toh terangkai dalam ungkapan yang bisa enak didengar, biarpun banyak yang tidak bisa difahami. Pak Camat juga tak ketinggalan berpantun koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi. Juga soal pembangunan manusia seutuhnya. Lalu soal kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Tiba-tiba Kang Mukmin, salah seorang Kamituwo yang hadir, mengacungkan tangan. Laksana seorang martir ia berdiri dengan tekad baja, biarpun kakinya menggigil dan keringat dingin mengucur. la mengumpulkan semua keberanian untuk secara jujur dari lubuk hatinya ia bertanya: "Apa dalam pertemuan ini kepareng (diizinkan) bila ada yang tidak mengerti pak ?" Jawab pak Camat bisa anda terka sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus