Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Hamlet

Hamlet, cerita yang ditulis shakespeare, tak satupun grup teater dimanapun yang mampu menghayati situasi serba curiga di sekitar hamlet, dengan meyakinkan. uni soviet ternyata mampu menjadikannya film terbagus.

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMLET gila, dan karena itu ia selamat, di sebuah lingkungan yang menindas, yang penuh pengawasan dan kekangan. "Denmark sebuah penjara," demikian pernyataan Hamlet tentang negerinya. Lalu, di depan dua orang yang dikirim Raja Claudius untuk menyelidikinya, ia mengungkapkan rasa mualnya kepada dunia, kepada manusia, tanpa ia sebutkan mengapa demikian. Hamlet menampilkan diri sebagai teka-teki. Raja dan Polonius, pembesar istana, merasa perlu mengusut dan membongkar sikap yang tak jelas itu. Sebuah kekuasaan yang merasa tak tenteram dengan dirinya sendiri memang memerlukan lampu sorot yang tak putus-putusnya bekerja, sejak hari mulai gelap. Jarang sebuah grup teater bisa mewujudkan kembali suasana serba curiga yang mencengkam dalam lakon yang ditulis Shakespeare lebih dari empat abad yang lalu ini. Juga grup dari London yang pekan lalu mementaskan Hamlet di Jakarta tidak bisa. Ada kritikus sastra dari Eropa Timur yang konon mengatakan bahwa hanya mereka yang hidup di negeri-negeri totaliter yang bisa menghayati situas Hamlet secara meyakinkan. Tak mengherankan agaknya bila film terbagus dengan cerita Hamlet bukan datang dari Inggris abad ini, melainkan dari Uni Soviet di awal tahun 1960-an. Bayangkan: dalam kisah ini, Hamlet, pangeran dari Denmark, mengetahui dengan cara yang seram bagaimana ayahnya sendiri, raja yang sah, dibunuh, lalu digantikan oleh sang pembunuh di atas tahta. Jiwa anak muda ini runyam sejak malam itu. Hantu mendiang ayahnya menyuruhnya menuntut balas, dan itu berarti ia harus melakukan tindakan yang sangat berbahaya. Sementara itu, ia tahu: ibu kandungnya sendiri, Gertrude, berkhianat. Di situlah sang pangeran gundah dan marah, tapi juga gentar dan nanar. Ada yang mengatakan bahwa Hamlet cuma berpura-pura gila. "Hamlet berlaku gila untuk keselamatan dirinya," tulis Penulis Victor Hugo kira-kira seabad yang lalu. Sebab, dalam zaman yang gelap, "seorang yang dicurigai sebagai orang yang mencurigai" pasti binasa. Tahu kejahatan sang raja berarti terlibat diri dalam kejahatan politik. Dan, kata Hugo, orang yang seperti itu "hanya punya satu tempat berlindung, yakni kegilaan". Tapi toh kegilaan tak selamanya sebuah tempat yang aman. Polonius yang waspada punya kesimpulan lain dari cara Hamlet bercakap-cakap, "Meskipun mungkin ini kegilaan, ada metode di dalamnya " Maka, ia pun terus mengawasi, terus menyidik. Bersama Raja Claudius, pembesar istana ini menyuruh putrinya sendiri, Ophelia, pacar Hamlet, berbicara berdua dengan pangeran yang bertingkah sinting itu -- agar bisa diintip. Hasil pengintipan itu: pengintipan lebih lanjut perlu ditingkatkan. Polonius akan menyadap percakapan Hamlet dengan ibunya. Raja setuju. "Kegilaan, pada orang-orang penting, tak boleh dibiarkan tanpa diawasi," sabda Baginda. Dalam keadaan sedemikian, topeng menjadi esensial, juga dusta. Hubungan antarmanusia berlangsung dengan susah payah yang besar. Hamlet tahu bahwa dua sahabatnya sejak kecil, Rosencrantz dan Guildestern, bukan lagi sahabat, tapi dua petugas mata-mata. Hamlet juga tahu, ia pun harus berhati-hati bicara denPan Ophelia yang mencintai dan dicintainya. "Ha, ha! Jujurkah kau?" Itu salah satu pertanyaan Hamlet kepada gadis yang tulus itu -- sebuah pertanyaan yang jahat, tapi tampaknya tak bisa ia tahan. Barangkali jika ada jaman edan, maka hari-hari hidup Hamlet itulah salah satu bentuknya. Pada saat hubungan spontan berubah jadi hubungan sidik-menyelidik, manusia akan tampil keji, dan dunia tak lebih dari sekadar "himpunan uap busuk yang berisi sampar". Akhirnya, kita pun tak tahu lagi mana sikap edan yang pura-pura dan mana yang bukan. Hamlet pelan-pelan hadir dengan kejam. Ia mencemooh jenazah Polonius yang secara tak sengaja ia bunuh, ia mengakibatkan Ophelia terguncang batinnya hingga bunuh diri, dan ia mengirim Rosencrantz dan Guildestern -- secara dingin -- ke tangan algojo. Ia manusia putus asa. Baginya, "setidaknya di Denmark", orang bisa saja senyum tetapi tetap berhati jahat, "That one may smile, and smile, and be a villain." "Kau seharusnya jangan mempercayaiku," ujar Hamlet pada gadisnya. Tapi jika sentuhan saling percaya telah mustahil apakah yang berharga yang tinggal bagi manusia? Shakespeare bukan seorang pemberi fatwa moral. Namun, dalam cerita Hamlet, ada seorang tokoh yang tak punya rol penting tapi mengharukan. Namanya Horatio, sahabat Hamlet. Ia setia sampai akhir. Saya ingat sebuah sajak Trisno Sumardjo, Horatio pada Ajal Hamlet, yang bicara, "Selamat malam, pangeran budiman ...", pada saat ia tahu pangeran itu menutup mata, mati, setelah membunuh, setelah dibunuh. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus