Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Harga Naik, Siapa Korbannya

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROTES atas kenaikan harga-harga sedang marak di negeri ini. Keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik, tarif telepon, dan harga bahan bakar minyak, di awal tahun 2003 itu, rupanya dikeluhkan banyak kalangan. Para pengusaha mengkhawatirkan daya saingnya di era global ini akan terkikis oleh melambungnya ongkos produksi. Namun, uniknya, mereka juga serta-merta menaikkan harga jual produknya jauh lebih tinggi lagi. Wakil rakyat pun banyak yang ketularan ikut memprotes. Mereka seperti (pura-pura?) lupa bahwa kebijakan menghilangkan subsidi telah dibentuk dengan mengikutsertakan DPR. Sementara itu, di luar Senayan, sejumlah mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat, yang bersuara nyaring dengan mengatasnamakan rakyat miskin, tampak sibuk turun ke jalan mengusung poster dan mengobral orasi. Pokoknya, kenaikan tarif itu disambut dengan ledakan cacian dan lontaran emosi. Semua hiruk-pikuk itu sah-sah saja, bahkan dapat dimaklumi. Kenaikan harga kebutuhan sehari-hari jelas suatu hal yang menjengkelkan. Apalagi jika di saat yang sama tak ada penambahan penghasilan. Bukankah ini berarti ikat pinggang yang, bagi kebanyakan orang, rasanya sudah superketat eh mesti dikencangkan lagi? Kendati demikian, rasa kesal itu tak sepatutnya membuat kita gelap mata. Apalagi menyebabkan kita langsung percaya bahwa rakyat miskinlah yang akan menjadi penderita utama keputusan pemerintah ini. Sebab, kenyataannya, jumlah telepon di negeri berpenduduk 210 juta jiwa ini tak sampai delapan juta sambungan, sedikit lebih rendah ketimbang jumlah nomor telepon seluler yang tersedia. Selain itu, hampir separuh rumah tangga di Indonesia belum menikmati jaringan listrik PLN. Walhasil, boleh dikata kenaikan tarif telepon hanya akan menerpa tak sampai sepuluh persen penduduk Indonesia, dan hampir semuanya dapat digolongkan kelompok sepuluh persen rumah tangga terkaya di negeri ini. Oleh karena itu, jika tarif telepon disubsidi, berarti lebih dari 90 persen rakyat yang miskin terambil haknya oleh yang kemampuan ekonomi-nya lebih beruntung. Dalam skala yang lebih rendah, dampak serupa terjadi pada pengadaan jasa listrik. Rumah tangga yang menikmati jasa PLN memang tiga setengah kali lipat lebih banyak ketimbang pelanggan telepon, tapi umumnya kemampuan ekonomi rumah tangga ini jelas lebih tinggi ketimbang dua puluhan juta rumah tangga lain yang belum tergapai jaringan listrik. Maka, jika pemerintah menyubsidi PLN, berarti separuh penduduk termiskin Indonesia menyubsidi separuh saudara sebangsanya yang lebih kaya. Hal yang serupa tapi tak sama terjadi pada penetapan harga bahan bakar minyak. Soalnya, harus diakui bahwa banyak penduduk miskin memanfaatkan minyak tanah dalam kehidupan sehari-hari?kendati yang termiskin jarang menggunakannya karena lebih mengandalkan kayu bakar. Meskipun demikian, subsidi pada minyak tanah yang dinikmati kaum miskin ini ternyata jauh lebih kecil ketimbang yang dilahap oleh industri atau mafia yang menggunakannya untuk mengoplos minyak gelap atau menyelundupkannya ke luar negeri. Walhasil, akan lebih menguntungkan bila biaya yang besar itu digunakan langsung untuk membantu mereka yang miskin daripada dihambur-hamburkan untuk para penyelundup. Hal yang sama berlaku dalam pengadaan minyak solar. Biaya subsidinya lebih bermanfaat digunakan untuk membangun sistem transportasi rakyat yang murah, aman, dan efektif daripada?lagi-lagi?untuk memperkaya mafia penyelundup dan para pejabat garapannya. Dalam kerangka berpikir seperti ini, segenap pelaku protes kenaikan harga dianjurkan berpikir ulang. Bukan untuk menghentikan kekritisan dan partisipasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi untuk mengubah sasaran protesnya. Sebab, bila tidak, salah-salah malah dapat dituding sebagai pendukung para mafia dan aparat korup. Minimal, sulit untuk mengelak dari tuduhan telah menjadi warga kelas menengah yang manja dan tak peka pada nasib kaum papa. Oleh karena itu, poster-poster memprotes kenaikan harga sebaiknya dicopot dan disimpan dulu di laci. Lantas buat lagi yang baru, yang meminta pemerintah untuk bersikap transparan dalam menjelaskan berapa besar dana yang diraih (atau tak jadi dikeluarkan) dari kebijakan kenaikan tarif dan harga yang telah diputuskan. Setelah itu, pemerintah yang tak berani bertindak keras terhadap para konglomerat hitam dan malah merencanakan untuk mengampuni mereka ini, hendaknya dilarang keras menggunakan semua dana tersebut untuk keperluan di luar program pengentasan kemiskinan. Sebab, kebanyakan orang ramai masih rela membayar lebih mahal untuk telepon, listrik, dan bensin jika mengetahui bahwa selisih kenaikan itu untuk menyekolahkan anak miskin, menyediakan air bersih, atau untuk kegiatan sosial lain seperti membangun puskesmas. Namun, jika segala kemahalan itu demi menambal utang yang ditinggalkan para konglomerat hitam yang mengaku tak sanggup lagi membayarnya?tapi secara kasat mata terlihat masih hidup bermewah-mewah?kerelaan itu akan sirna. Bahkan akan bergumpal, bergulir, dan melindas para pengambil ke-(tidak)-bijakan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus