Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah harus cermat menghitung untung-rugi pembukaan pariwisata Bali bagi turis asing di tengah pandemi. Meski Bali berpotensi menjadi titik awal pemulihan industri pelesiran yang terpuruk akibat penyebaran virus corona, tanpa persyaratan ketat dan kalkulasi berbasis data, pembukaan kembali Pulau Dewata sebagai destinasi wisata bagi pelancong mancanegara bisa memicu lonjakan jumlah kasus baru Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno berencana memberlakukan pelonggaran itu pada kuartal ketiga tahun ini. Kebijakan ini jelas memberikan angin segar bagi pelaku usaha wisata. Kedatangan wisatawan asing setidaknya bisa mendorong perekonomian Bali kembali bergeliat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak wabah merebak dan arus wisatawan seret, banyak pelaku usaha di sana sempoyongan. Tak sedikit yang gulung tikar dan ribuan pekerja wisata dirumahkan. Padahal, hampir 70 persen perekonomian Bali bergantung pada industri pelancongan. Remuknya perekonomian Bali tecermin dari pertumbuhan ekonomi yang minus hingga 9,85 persen secara tahunan pada kuartal pertama tahun ini.
Untuk membuka kembali pariwisata, sejumlah persyaratan tentu harus dipenuhi. Salah satu yang menjadi tolok ukur adalah kesigapan Bali mengatasi pagebluk. Merujuk pada data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Provinsi Bali, jumlah kasus di sana meningkat dalam beberapa hari terakhir, menembus tiga digit setelah sempat melandai di bawah 50. Jumlah kasus aktif di Bali per Senin sore kemarin mencapai 734. Itu sebabnya, keberhasilan Bali mengatasi wabah dalam beberapa pekan ke depan akan menjadi rujukan perlu-tidaknya provinsi itu membuka pintu bagi arus wisatawan mancanegara.
Hal lain yang tak kalah penting adalah memperketat titik-titik keluar-masuk dari Bali ke wilayah Indonesia lainnya. Sebagai pulau terpisah, penyekatan ini bisa memberikan rasa aman bagi turis asing yang ingin melancong ke Pulau Dewata. Namun kebijakan ini bisa menimbulkan konsekuensi lain. Pengetatan itu, misalnya, bisa menurunkan jumlah kunjungan wisatawan domestik yang dalam beberapa bulan terakhir, meski nominalnya rendah, telah menjadi sumber penggerak perekonomian di sana. Karena itu, untung-rugi pembukaan wisata bagi turis asing perlu dihitung dengan cermat.
Masalahnya, seketat apa pun persyaratan yang diterapkan, hal itu belum tentu bisa menarik kunjungan wisatawan. Cara Indonesia menangani wabah kerap menjadi sorotan karena inkonsistensi kebijakan. Kebijakan ambigu ini tampak saat pemerintah melarang perjalanan mudik, tapi pada saat yang sama malah mendorong masyarakat pelesiran. Kasus Covid-19 yang saat ini tengah melonjak merupakan salah satu dampak dari inkonsistensi kebijakan tersebut.
Bukan hanya itu. Kredibilitas Indonesia dalam menangani wabah juga kerap dipertanyakan banyak negara karena kesimpangsiuran data. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengakui kekacauan data tersebut. Kekusutan data juga dikeluhkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil karena data antara pemerintah pusat dan daerah tidak sinkron. Sejumlah lembaga juga menengarai angka kematian Covid-19 di Indonesia lebih besar dibanding data pemerintah.
Ketidakakuratan data ini bisa membuat pemerintah tidak punya pegangan yang pasti dalam merumuskan kebijakan. Termasuk dalam membuka pariwisata Bali bagi wisatawan asing. Tanpa data yang memadai, pengambil kebijakan tidak bisa memutuskan kapan menarik rem atau menginjak gas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo