Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945 tak perlu diteruskan. Jika terwujud, rencana amendemen hasil rekomendasi MPR periode 2014-2019 yang memuat tujuh poin penting itu bakal mengubah fondasi negara. Ketujuh poin itu adalah membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), menata kewenangan MPR, dan menata kewenangan Dewan Perwakilan Daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Lainnya adalah menata sistem presidensial, menata kekuasaan kehakiman, menata sistem hukum dan peraturan perundang-undangan, serta mensosialisasi empat pilar kebangsaan. Dari ketujuh poin itu, GBHN dan mengubah sistem presidensial paling krusial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemberlakuan kembali GBHN akan mengubah konsep kedaulatan karena MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Sistem pemerintahan presidensial, yang sekarang ini berlaku, akan berubah. Demokrasi yang mengutamakan kedaulatan rakyat dalam pemilihan langsung akan hilang. MPR bisa tergoda untuk mengganti sistem pemilihan presiden dari pemilihan langsung menjadi penunjukan oleh MPR, seperti pada era Soeharto.
Argumen bahwa GBHN diperlukan agar pembangunan lebih mudah diawasi tidak bisa diterima. Pemerintah telah memiliki pedoman pembangunan nasional, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, yang tercantum dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Tahapan ini berlaku untuk periode 20 tahun, sejak 2005 hingga 2025. Pelaksanaannya terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan jangka menengah nasional lima tahunan.
Amendemen konstitusi dengan memasukkan GBHN juga akan menarik mundur sejarah Indonesia ke era Orde Baru. Bahkan, kembali ke era Orde Lama ketika Presiden Sukarno menerapkan Pembangunan Semesta Berencana, yang tak relevan lagi dengan perkembangan demokrasi. Pembangunan Semesta Berencana hanya relevan diterapkan pada negara yang menganut asas partai tunggal.
Amendemen konstitusi tidak bisa dilakukan secara diam-diam pada saat perhatian masyarakat luas tidak terarah ke sana. Politikus Senayan sepatutnya tak mengulangi cara-cara tak etis dalam merevisi Undang-Undang KPK. Membahas aturan mendasar ketatanegaraan tak bisa tergesa-gesa.
Misalnya gagasan kembali ke GBHN yang pernah mengemuka pada 2016. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan paling ngotot mengusung ide ini. Kali ini, PDIP mendapat dukungan Partai Gerindra, yang malah ingin kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang asli.
Suara minor pun muncul di kalangan politikus Senayan terhadap bersemangatnya dua partai politik peraih suara terbesar ini dalam mengusung ide amendemen. Elite politik dua partai ini diduga cemas tak akan mampu mendapatkan dukungan suara dari rakyat pada pemilihan presiden langsung mendatang. Dengan demikian, amendemen GBHN menjadi pintu masuk untuk mengubah sistem pemilihan presiden langsung ke pemilihan presiden melalui MPR.
Demi menghindari tak terkontrolnya pembahasan amendemen dan merebaknya spekulasi liar seputar ide perubahan konstitusi, MPR harus menahan diri. MPR tak boleh grusa-grusu membahas amendemen UUD 1945. Semua hal yang berkaitan dengan agenda perubahan konstitusi harus dipertimbangkan secara matang. Perlu ada diskusi publik yang mendalam serta melibatkan banyak pakar di luar MPR.