Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
RENCANA Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah membahas kembali Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan dan sejumlah aturan bermasalah lain sungguh tak bisa diterima akal sehat. Tanpa malu-malu, DPR dan pemerintah terus memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk mengegolkan berbagai rancangan aturan yang sebelumnya sudah ditolak publik. Sebelumnya, DPR sudah mengesahkan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, sembari ngotot terus membahas RUU Cipta Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kesepakatan DPR dan pemerintah untuk membahas RUU Pemasyarakatan muncul dalam rapat kerja dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Senin, 22 Juni lalu. Dewan beralasan pembahasan itu urgen untuk menyikapi polemik seputar remisi bekas Bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang itu seharusnya baru bebas pada 2025 setelah menjalani hukuman 13 tahun. Namun politikus licin itu justru melenggang bebas pada pertengahan Juni lalu setelah mendapat remisi 49 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Alasan Dewan itu jelas mengada-ada. Jika berniat memperbaiki berbagai persoalan dalam sistem pemasyarakatan kita, DPR bisa memulainya dengan mengawasi pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi dengan lebih ketat. Remisi terhadap Nazaruddin, misalnya, melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan tak pernah memberikan status justice collaborator kepada Nazaruddin. Tanpa status tersebut, Nazaruddin seharusnya tak bisa mendapat remisi.
Menjadikan RUU Pemasyarakatan sebagai solusi bobroknya sistem peradilan di negeri ini ibarat berusaha membersihkan lantai kotor dengan sapu penuh lumpur. Draf aturan itu sendiri sudah sarat dengan muatan bermasalah. Salah satu pasal menempatkan kejahatan luar biasa seperti korupsi sebagai kasus pidana biasa. Pasal lain menyebutkan bahwa narapidana yang telah memenuhi syarat, tanpa terkecuali, berhak atas remisi, asimilasi, cuti, dan pembebasan bersyarat.
Pemerintah dan DPR agaknya sudah lupa bagaimana gencarnya aksi demonstrasi mahasiswa pada September 2019. Ketika itu, mahasiswa dan elemen masyarakat sipil beramai-ramai menolak RUU Pemasyarakatan, revisi Undang-Undang KPK, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan sejumlah aturan bermasalah lain. Sejumlah mahasiswa di Jakarta dan Kendari bahkan tewas di tengah perjuangan mereka.
Aksi pemerintah dan DPR memasukkan kembali RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP dalam Program Legislasi Nasional 2020 menunjukkan ketidakpedulian mereka pada pengorbanan mahasiswa. Kini, dalam kondisi pandemi, berbagai aturan bermasalah itu berpotensi lolos dengan mudah akibat berkurangnya tekanan publik melalui unjuk rasa.
Presiden Joko Widodo harus berani mengambil sikap tegas dengan tak mengeluarkan surat presiden untuk membahas RUU Pemasyarakatan. Jokowi sudah melakukannya saat muncul polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila. Mengapa Presiden tidak melakukan hal serupa untuk menghentikan pembahasan RUU lain yang sama berbahayanya? Sudah seharusnya Jokowi tak mengulangi kesalahan yang ia lakukan saat DPR merevisi UU KPK. Hari-hari ini, keseriusan Presiden menegakkan supremasi hukum dan mendukung pemberantasan korupsi diuji kembali. Mengulangi kesalahan yang sama hanya akan memperlebar jarak antara Jokowi dan suara rakyat yang dipimpinnya. l