Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo harus mengubah pendekatan pemerintahannya dalam menyelesaikan masalah Papua. Pada awal periode pertamanya, Jokowi sempat memberikan harapan baru dalam upaya mencari solusi bermartabat di Papua. Dia memberikan grasi kepada tahanan politik Papua dan menjamin penegakan hak asasi manusia di sana.
Sayangnya, komitmen itu tak dijalankan dengan konsisten. Kini, kondisi Papua justru memburuk. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat pengaduan kasus-kasus penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan terus menggunung lima tahun terakhir. Sepanjang 2019 saja jumlahnya mencapai 154 aduan, lebih dari dua kali lipat angka tahun sebelumnya.
Sekarang ada tujuh pemuda Papua empat di antaranya mahasiswa yang tengah didakwa dengan pasal makar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur. Mereka diadili setelah terlibat dalam aksi menentang rasisme pada Agustus 2019 di Papua. Aksi itu muncul sebagai reaksi atas tindakan oknum aparat keamanan di asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang menghina orang Papua. Mereka diancam hukuman 5-17 tahun penjara.
Ada laporan bahwa proses persidangan terhadap mereka berlangsung berat sebelah. Menurut pengacara mereka, ketujuh pemuda Papua itu tak mendapat kesempatan yang memadai untuk membela diri di hadapan majelis hakim. Padahal mereka adalah tokoh-tokoh gerakan mahasiswa dan pemuda di Papua.
Hingga saat ini, Amnesty International mencatat ada sedikitnya 44 orang Papua ditahan, sebagian dijerat dengan tuduhan makar, karena menuntut hak masyarakat Papua. Kondisi seperti ini tentu tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pendekatan represif pemerintah berpotensi mengobarkan konflik berkepanjangan.
Upaya koreksi harus segera dilakukan sebelum terlambat. Pasalnya, pendekatan keliru dalam menyelesaikan isu Papua itu belakangan diadopsi para petinggi kampus. Ini tampak dari reaksi berlebihan Rektorat Universitas Indonesia terhadap diskusi bertajuk “#PapuanLivesMatter: Rasisme Hukum di Papua” yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UI, Sabtu pekan lalu.
Pernyataan pimpinan UI yang mengecam diskusi itu jelas merupakan kepanjangan tangan kekuasaan untuk mencekik kritik dan kebebasan berekspresi. Gejala serupa pernah terjadi dalam rezim Orde Baru.
Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009 yang diperbarui tiga tahun lalu sudah terang benderang menunjukkan empat akar konflik di Papua. Jokowi perlu menyelesaikan masalah status dan sejarah politik, diskriminasi terhadap orang Papua, kegagalan pembangunan, serta kekerasan negara dan pelanggaran HAM di sana.
Pemerintah bisa mulai menunjukkan kembali komitmennya untuk menjamin masa depan Papua yang lebih baik dengan menuntaskan kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu. Kasus Biak Numfor pada Juli 1998, Wasior (2001), Wamena (2003), Paniai (2014), dan Mapenduma (2016) belum tuntas hingga kini. Malahan kini muncul lagi peristiwa berdarah lain seperti di Nduga (2018) dan Intan Jaya (2019).
Para penasehat presiden di Istana harus menyadarkan Jokowi bahwa pendekatan keamanan dan pemberangusan hak-hak sipil tak akan menyelesaikan masalah Papua. Kegagalan pemerintahan Jokowi memberikan rasa adil bagi para korban di Papua hanya akan mewariskan masalah besar buat penerusnya di masa depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini