Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo sebaiknya memikirkan cara yang lebih tepat dalam memberikan bantuan sosial di tengah pandemi. Alih-alih menunjukkan empati, cara Jokowi melempar bahan kebutuhan pokok (sembako) ke arah kerumunan justru merendahkan derajat penerima bantuan. Penyaluran sumbangan seperti itu semakin menunjukkan betapa renggangnya hierarki sosial antara penguasa dan rakyat dalam tatanan masyarakat saat ini.
Bagi-bagi bahan pokok itu terjadi saat Jokowi melihat lokasi vaksinasi massal di Kecamatan Harjamukti, Cirebon, beberapa hari lalu. Demi sekantong beras, warga berdesak-desakan berebut kantong bertulisan "Bantuan Presiden". Ada pula yang rela terjun ke parit demi mendapatkan kaus bergambar Jokowi. Polah Jokowi membagikan bantuan yang mengundang kelimun itu jelas menabrak protokol kesehatan.
Padahal, sehari sebelumnya, Jokowi baru mengingatkan betapa pentingnya masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Pesan ini kerap ia sampaikan dalam sejumlah kesempatan. Saat mengumumkan perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Pulau Jawa dan Bali, 30 Agustus lalu, Jokowi meminta masyarakat tetap berdisiplin dan berhati-hati meski kasus Covid-19 menunjukkan tren penurunan. Rupanya, apa yang terucap di bibir bertolak belakang dengan kenyataan. Pihak yang melarang kerumunan malah sibuk membagikan paket bahan pokok kepada banyak orang.
Masalahnya, bukan kali itu saja Jokowi membagikan sembako yang mengundang kerumunan banyak orang. Kejadian serupa terjadi di Kabupaten Pringsewu, Lampung, beberapa hari kemudian. Banyak warga jatuh pingsan akibat saling dorong dan berdesak-desakan. Sehari setelah PPKM diperpanjang pada pertengahan Agustus lalu, Jokowi juga membagikan bahan pokok di Terminal Grogol, Jakarta Barat, tanpa jaga jarak taupun memperhatikan protokol kesehatan. Di tengah wabah yang masih berkecamuk, kerumunan itu jelas membahayakan keselamatan rakyat. Pembagian bantuan seperti itu sudah saatnya dihentikan.
Cara Jokowi membagikan paket sembako dengan melemparnya ke arah kerumunan juga menunjukkan kegagapan pemerintah dalam merumuskan kebijakan sosial yang tepat dalam menghadapi wabah. Ketidakmampuan itu tampaknya berusaha ditutupi dengan mengedepankan gestur individu, yakni bagi-bagi bantuan presiden.
Bagaikan memberi makan ikan di kolam yang mulutnya menganga berebut makanan, apa yang diperlihatkan Jokowi tak berbeda jauh dengan perilaku raja feodal yang butuh hiburan. Di sebuah negara demokrasi yang kekuasaan pemimpinnya dibatasi oleh konstitusi, polah tingkah seperti itu jelas menabrak akal sehat.
Kalaupun negara ingin hadir lebih dekat pada masa sulit ini, bagi-bagi sembako ala Jokowi bukanlah solusi yang tepat. Simpati kepada rakyat seharusnya diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang lebih konkret. Salah satunya dengan mempercepat perbaikan data penerima bantuan yang selama ini kerap menimbulkan persoalan. Hal inilah yang membuat pelbagai program bantuan sosial selalu berantakan dan salah sasaran.
Sudah saatnya Jokowi berfokus pada hal-hal yang lebih strategis agar kita bisa segera melewati masa-masa sulit di masa pagebluk—bukan sibuk mengurusi hal-hal insidental. Biarlah tugas membagikan bantuan sosial diserahkan kepada anggota hansip atau pemuda karang taruna setingkat desa. Sebagai kepala pemerintahan, presiden tidak perlu menyibukkan diri dengan urusan ecek-ecek seperti itu lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo