Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga beras terus menjulang meskipun pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET).
HET sejatinya adalah batas harga perlu-tidaknya pemerintah mengintervensi pasar.
HET tidak bisa diandalkan sebagai instrumen stabilisasi bila tak ada cadangan beras yang memadai.
Khudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan dan penulis buku Ironi Negeri Beras
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam beberapa pekan terakhir, harga beras terus menanjak. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas) per 15 September 2023, harga beras medium mencapai Rp 12.840 per kilogram. Harga ini jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) beras medium di daerah produsen yang sebesar Rp 10.900 per kilogram dan di sentra konsumen Rp 11.500-11.800 per kilogram (zona 2 dan 3), seperti diatur dalam Peraturan Bapanas Nomor 7 Tahun 2023. Adapun harga beras premium mencapai Rp 14.540 per kilogram, yang juga melampaui HET di daerah produsen yang sebesar Rp 13.900 per kilogram dan di sentra konsumen zona 2 Rp 14.400 per kilogram. Sementara itu, di zona 3, harga beras yang sebesar Rp 14.800 per kilogram belum melampaui HET.
Namun, merujuk pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) pada 15 September 2023, harga beras medium rata-rata Rp 14.125 per kilogram dan beras premium rata-rata menyentuh Rp 15.300 per kilogram. Kedua harga itu sudah jauh meninggalkan ketetapan HET beras.
Apa yang bisa dibaca dari kenyataan ini? Bukankah HET dimaksudkan untuk mengendalikan harga? Jika harga melampaui patokan, lalu apa gunanya HET? Bukankah ini akan menggerus kredibilitas pemerintah?
Kenaikan harga beras merupakan konsekuensi atas kenaikan harga gabah. HET, seperti diatur dalam peraturan Bapanas itu, menggunakan patokan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di petani sebesar Rp 5.000 per kilogram dan di penggilingan Rp 5.100 per kilogram. Adapun HPP gabah kering giling (GKG) di penggilingan sebesar Rp 6.200 per kilogram dan di gudang Bulog Rp 6.300 per kilogram. Saat ini, harga GKG di tingkat petani sudah di atas Rp 7.000 per kilogram. Bahkan di beberapa wilayah mencapai Rp 7.400 per kilogram. Ketika harga gabah sebagai bahan baku (input) naik, dengan sendirinya harga beras sebagai output produksi juga naik.
HET akan lebih mudah dipatuhi apabila harga gabah sebagai input produksi tidak berpotensi melonjak. Tapi mematok harga gabah secara tetap seperti HET tentu tidak adil bagi petani karena input produksi pertanian (tenaga kerja, bibit, sewa lahan, pupuk, dan lain-lain) harganya tidak tetap. Pada titik ini, mempertanyakan HET sebagai sebuah kebijakan menjadi relevan. Kalau harga bahan baku tidak tetap, mengapa harga jual dibuat tetap? Bukankah harga jual yang dibuat tetap itu akan membatasi inovasi?
Dalam konteks stabilisasi harga, sejatinya HET merupakan instrumen pemerintah, bukan peranti langsung untuk mengatur pelaku usaha. HET adalah batas harga perlu-tidaknya pemerintah melakukan intervensi di pasar. Ketika harga beras melampaui persentase tertentu dari HET, ini sinyal bagi pemerintah untuk turun ke pasar buat mengintervensi. Salah satunya dengan menggelar operasi pasar agar harga kembali ke posisi normal atau di bawah HET. Tujuannya, daya beli terjaga dan inflasi terkendali.
Karena itu, dalam konteks stabilisasi harga beras, HET tidak berdiri sendiri. HET adalah pelengkap pelbagai instrumen stabilisasi, seperti cadangan, ekspor dan impor, serta harga dasar. HET tidak bisa diandalkan sebagai instrumen stabilisasi bila tak ada cadangan beras pemerintah yang setiap saat bisa digunakan untuk mengoreksi kegagalan pasar. Agar cadangan aman, penyerapan beras domestik harus dioptimalkan. Di sini diperlukan instrumen harga dasar, yang dalam Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2015 disebut sebagai HPP. HPP adalah perisai agar petani tak rugi. Ketika harga gabah/beras jatuh di bawah HPP, negara, melalui Bulog, hadir dengan membeli produksi petani. Ketika cadangan belum cukup, ini bisa diisi dengan mengimpor di luar panen. Sayangnya, sekarang tak jelas kaitan antara HET dan cadangan beras ataupun instrumen lainnya.
Sejak diberlakukan pada 1 September 2017 sampai saat ini, HET belum berlaku efektif. Kalau setelah enam tahun berlalu tak efektif juga, kenapa HET beras tetap diberlakukan? Apakah masih perlu trial and error lagi? Bukankah sudah banyak penggilingan yang gulung tikar? Bukankah penggilingan dan pedagang beras masih trauma atas kehadiran Satgas Pangan untuk mengamankan HET? Regulasi HET diperkirakan telah mengirim banyak penggilingan ke jurang maut. Jangan sampai jatuh korban-korban baru yang semestinya tidak perlu.
Kalau pemerintah tetap menerapkan HET, mengapa mesti menyasar beras premium? Beras, seperti komoditas lain, dapat diproses lebih lanjut guna memperoleh nilai tambah. Proses itu membutuhkan investasi dan teknologi yang pada akhirnya memperbesar ongkos produksi. Karena itu, harga jualnya juga jadi lebih mahal. Segmen yang dibidik pengolah beras premium adalah orang berduit. Segmen ini rela merogoh kocek dalam-dalam bila ada produsen yang mampu mengolah beras sehingga mengandung antioksidan, cocok buat penderita diabetes, menjadi obat awet muda, dan seterusnya. Mengapa negara harus sibuk mengurus konsumen tajir yang tak terhambat daya beli? Bukankah mereka membeli nilai tambah dan eksklusivitas tersebut?
UUD '45 mengamanatkan negara untuk menyantuni kaum fakir miskin dan anak telantar agar memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, bukan mengurus gaya hidup kaum tajir. HET dibuat agar harga beras terjangkau oleh rata-rata daya beli masyarakat. Kalau pemerintah konsisten dengan latar ini, konsumen yang hendak disasar HET sudah jelas, yakni kaum miskin. Karena itu, HET seharusnya hanya mengatur jenis beras medium untuk segmen warga kebanyakan, bukan konsumen tajir. Dengan cara ini, aturan HET tidak menutup peluang bagi para inovator untuk meningkatkan nilai tambah beras, apa pun bentuk inovasinya.
HET juga berpotensi merugikan petani. HET membuat petani ogah berinovasi dan memproduksi padi berkualitas. Sebab, HET tidak mengakomodasi dan membuka peluang bagi petani untuk mendapatkan nilai lebih dari inovasi yang dilakukan. HET telah memaksa pedagang dan penggilingan padi memperlakukan sama para petani yang memproduksi padi berkualitas dengan yang tidak. Lalu apa gunanya inovasi petani bila tak dihargai? Berbeda halnya bila HET mengakomodasi penciptaan nilai tambah beras, misalnya, sehingga tak ada HET beras premium. Nilai tambah itu pasti membawa spillover ke petani dalam bentuk harga gabah yang lebih tinggi. Hal ini akan menggerus keuntungan tengkulak.
Regulasi HET beras kembali menyadarkan kita tentang perlunya para pemangku kepentingan berhati-hati dan membuang jauh-jauh ego sektoral dengan menimbang semua sisi serta melibatkan para pihak untuk melahirkan kebijakan yang baik dan kredibel. Kebijakan yang baik tentu juga didasarkan pada data yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini penting karena ujung dari semua ini adalah taruhan bagi kredibilitas pemerintah. Jika kebijakan yang dibuat bermasalah, kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa tergerus. Sebaliknya, kebijakan yang baik akan mempertebal kepercayaan publik. Kini saatnya pemerintah menimbang ulang kebijakan HET beras. Tidak ada kata terlambat untuk mengoreksinya.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo