Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah telah menetapkan harga eceran tertinggi minyak goreng curah.
Mengapa masih banyak yang melebihi harga yang ditetapkan?
Ada masalah distribusi dan pasokan yang tidak memadai.
Muhammad Nalar Al Khair
Peneliti Pangan, Desa, dan UMKM Lembaga Riset Sigmaphi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo berusaha memastikan ketersediaan dan kesesuaian harga minyak goreng curah di pasar tradisional sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Curah. Selama dua pekan terakhir, Listyo mengecek ke pasar-pasar tradisional di Palembang, Jakarta, Bandung, dan banyak wilayah lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun tindakan itu masih jauh panggang dari api. Permasalahan harga dan pasokan minyak goreng tidak berada di pasar retail tradisional, melainkan di sisi hulu dan tengah, yaitu di tingkat produsen minyak goreng sawit serta para distributor besar.
Segala persoalan dari hulu bermuara di pasar tradisional dalam bentuk harga yang mahal dan pasokan yang tak memadai. Tak mengherankan jika polisi tetap kesulitan dalam mencari minyak goreng curah yang dijual sesuai dengan HET seharga Rp 14 ribu per liter. Konsumen pun terpaksa terus bergulat dengan persoalan minyak goreng yang sudah terjadi selama hampir setengah tahun terakhir.
Aturan pemerintah untuk mengatasi masalah itu juga masih berkutat di sisi hilir. Terakhir, pemerintah merilis Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022 dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 8 Tahun 2022 tentang penyediaan minyak goreng curah dengan pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Masalahnya, aturan-aturan itu bak macan kertas. Per 1 April 2022, berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga rata-rata nasional minyak goreng curah malah sangat fantastis, yakni sebesar Rp 20 ribu per liter, lebih tinggi 43 persen dari HET. Ini rekor harga tertinggi dalam sejarah minyak goreng. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo gusar karena menemukan minyak goreng curah seharga Rp 20-22 ribu per liter di Pasar Bulu, Semarang.
Dari kasus Jawa Tengah, diketahui bahwa mahalnya harga disebabkan oleh produknya yang langka lantaran jatah minyak goreng untuk Jawa Tengah terlambat datang. Pemasok minyak goreng di provinsi itu adalah badan usaha milik negara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Perusahaan itu gagal mendatangkan minyak goreng dari Kalimantan sesuai dengan jadwal dan yang dikirim hanya 2.600 ton dari yang seharusnya 3.000 ton.
Konon, kegagalan itu terjadi karena PPI tak bisa mendapatkan tangki dan truk tangki minyak goreng. PPI memang bukan perusahaan logistik yang punya truk tangki. PPI akhirnya “mengorderkan” pengiriman minyak goreng ke perusahaan swasta yang punya tangki. Tak ayal, biaya pun bertambah. Akhirnya, ya, itu tadi, harga di tingkat konsumen naik.
Problem distribusi semacam ini banyak terjadi di seluruh Indonesia. Angkutan tangki minyak goreng curah sangat terbatas. Sejak pemerintah berniat menghentikan penjualan minyak goreng curah, ketersediaan truk tangki berkurang karena usia. Minyak goreng kemasan tak butuh tangki dan tinggal dimasukkan ke kardus, lalu masuk kontainer. Di sisi lain, peraturan Menteri Perindustrian menyatakan bahwa BUMN distributor bertugas menyalurkan minyak goreng sampai ke pasar tradisional dan masyarakat.
Di tingkat produsen sawit sebagai pemasok bahan baku minyak goreng, pemerintah juga tak bisa melakukan banyak pembenahan. Bahkan tindakan melepaskan harga minyak goreng kemasan sesuai dengan mekanisme pasar menjadi bentuk kekalahan pemerintah dalam bernegosiasi dengan para pengusaha besar minyak goreng.
Ada 351 hak guna usaha (HGU) lahan yang habis izinnya pada 2022-2025. Pemerintah bisa saja mencabut HGU lahan sawit perusahaan yang tidak mau bekerja sama. Namun pemerintah nyatanya hanya mengharapkan kebaikan para pengusaha besar. Seharusnya pemerintah lebih berfokus menjalankan wewenangnya demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara lebih konkret.
Kepolisian sendiri bisa berperan lebih konkret dalam hal ini. Polri dapat bekerja sama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan penyelidikan serius ihwal akar permasalahan minyak goreng. Keterbatasan kewenangan KPPU, yang kesulitan menyita alat bukti dan melakukan pemanggilan paksa, dapat dilengkapi dengan peran kepolisian.
Saat ini KPPU telah menemukan satu alat bukti dengan dugaan pelanggaran tiga pasal dari Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yakni ihwal penetapan harga, kartel, dan penguasaan pasar. Dengan kerja sama antara kepolisian dan KPPU, diharapkan dapat ditemukan bukti tambahan yang memperkuat tindakan hukum demi memecahkan permasalahan minyak goreng.
Sinergi penegakan hukum ini sangat perlu, mengingat masalah minyak goreng yang sudah lama terjadi. Sinergi ini sangat penting dalam menemukan titik terang dari masalah tingginya harga minyak goreng dan kelangkaannya di Indonesia, negara penghasil minyak sawit besar di dunia. Tindakan tegas penegak hukum juga merupakan hal yang ditunggu-tunggu masyarakat demi menimbulkan efek jera kepada para pihak yang sengaja menyengsarakan rakyat akibat permasalahan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo