Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Hibah Dinas Sosial DKI dan Konflik Kepentingan

Antonius Steven Un, doktor filsafat dari Vrije Universiteit, menilai pembagian dana hibah Dinas Sosial DKI Jakarta mengandung konflik kepentingan. Penegakan hukum dan transparansi perlu ditegakkan.

7 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pembagian dana hibah Dinas Sosial DKI Jakarta dinilai mengandung konflik kepentingan.

  • Konflik kepentingan membuat fungsi pengawasan sulit berjalan.

  • Prinsip diferensiasi institusional perlu diterapkan untuk menghindari konflik kepentingan.

Antonius Steven Un
Doktor Filsafat Bidang Filsafat-Teologi di Vrije Universiteit, Amsterdam, dan pengajar pada Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Internasional

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dinas Sosial DKI Jakarta merancang dana hibah senilai Rp 486 juta untuk Yayasan Pondok Karya Pembangunan pimpinan KH Amidhan Shaberah. Amidhan adalah ayah kandung Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria. Alokasi anggaran serupa digelontorkan ke organisasi nirlaba Bunda Pintar Indonesia binaan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani. Sementara itu, organisasi penyandang disabilitas khusus tunadaksa, Yayasan Cheshire Indonesia, memperoleh dana hibah terendah, hanya Rp 18 juta. Hal itu dipandang sebagai suatu konflik kepentingan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pandangan saya, konflik kepentingan ini bisa terjadi dalam beberapa pengertian. Pertama, sebagai seorang anggota Dewan, Zita Anjani akan menjadi lebih sulit menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja eksekutif karena organisasi yang dipimpinnya menerima manfaat dari pemerintah DKI Jakarta yang diawasinya. Kedua, Dinas Sosial DKI dapat dianggap sedang mempunyai agenda terselubung, baik yang terkait dengan Ahmad Riza Patria maupun DPRD DKI, dengan menggelontorkan dana yang beraroma konflik kepentingan. Ketiga, Ahmad Riza akan menjadi lebih sulit mengontrol kinerja Dinas Sosial DKI karena yayasan yang dipimpin ayah tercintanya telah menerima sumbangsih dari dinas tersebut.

Konflik kepentingan berpotensi merusak profesionalitas kinerja pejabat publik, menurunkan kadar demokrasi yang menekankan akuntabilitas dan transparansi, menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintahan, serta mengantar kepada tindak pidana korupsi. Konflik kepentingan seperti ini seharusnya dihindari.

Kriminolog Rolando Ochoa (2018) berpandangan bahwa konflik kepentingan terjadi pada saat fungsi publik seorang pejabat terlalu banyak dipengaruhi kepentingan pribadi sehingga tidak bisa menghasilkan keputusan atau kebijakan terbaik. Dinas Sosial DKI seharusnya mempelajari dan mempertimbangkan secara cermat dan adil sehingga dana hibah dapat disalurkan secara tepat sasaran, tepat nalar, dan tepat guna. Dengan begitu, kebijakan mereka merupakan kebijakan terbaik dan terhindar dari konflik kepentingan.

Secara teoretis, M. Esadze (2013) membagi konflik kepentingan menjadi tiga dimensi. Pertama, konflik kepentingan aktual, yang terjadi ketika ada konflik langsung antara tanggung jawab pejabat publik dan kepentingan pribadi. Kedua, konflik kepentingan yang dirasakan terjadi ketika kepentingan pribadi pejabat dirasakan mempengaruhi kinerjanya, entah hal ini merupakan suatu fakta yang dapat dibuktikan atau tidak. Ketiga, konflik kepentingan potensial, yang terjadi bila pejabat publik memiliki kepentingan pribadi yang dapat bertentangan atau mengganggu pelaksanaan tugasnya. Berdasarkan klasifikasi ini, paling tidak Zita Anjani mengalami konflik kepentingan aktual dan Riza Patria mengalami konflik kepentingan potensial. Identifikasi ini tentu dapat diteruskan lebih jauh.

Ochoa dan Graycar (2016) menyarankan tiga solusi untuk mengatasi konflik kepentingan. Pertama, penegakan hukum harus diteruskan dan diprioritaskan. Langkah ini mendorong lembaga yudikatif, seperti kepolisian, kejaksaan, dan lembaga antirasuah lainnya, menelusuri delik pidana dalam konflik kepentingan. Kedua, regulasi administratif, seperti penegakan kode etik dan transparansi, perlu diadakan untuk mencegah konflik kepentingan. Ketiga, pengendalian sumber daya dan keuangan, yang merupakan sarana pemerintah untuk mengontrol konflik kepentingan. Bagi saya, langkah ini dapat ditempuh melalui mekanisme e-governance.

Selain itu, Ochoa dan Graycar (2016) mendorong kontrol sosial sebagai solusi bagi konflik kepentingan. Pertama-tama, jaringan pemangku kepentingan perlu dilibatkan untuk meningkatkan pengawasan dan mendorong akuntabilitas. Sebagai contoh, lembaga-lembaga independen yang kredibel dapat dilibatkan untuk memberikan masukan-masukan mengenai lembaga-lembaga sosial di Ibu Kota yang memerlukan dana hibah pemerintah provinsi sehingga rancangan anggaran tersebut dapat adil dan tepat serta bebas dari konflik kepentingan.

Solusi sosial lain yang ditawarkan adalah advokasi dalam bentuk bantuan pendidikan. Hal itu ditujukan untuk menciptakan pengetahuan dan kesadaran tentang penyebab, biaya, dan dampak dari konflik kepentingan. Salah satu kesadaran yang perlu dimiliki pejabat publik dan kelompok kepentingan adalah semangat diferensiasi institusional.

Diferensiasi institusional yang radikal diusulkan oleh Abraham Kuyper (1837-1920), pendiri Vrije Universiteit di Amsterdam, Belanda. Kuyper menggagas prinsip kedaulatan ruang, bahwa setiap institusi atau asosiasi memiliki otoritas, cara kerja, dan cara berkomunikasi yang berbeda-beda sesuai dengan hakikatnya dalam konteks pemuliaan manusia sebagai citra Tuhan, meski mereka dapat saling mendukung satu sama lain.

Prinsip kedaulatan ruang mendorong agar tiap entitas sosial, seperti universitas, pemerintah, agama, keluarga, akademi seni, dan bisnis, dijalankan sesuai dengan hakikat masing-masing untuk melayani agenda-agenda kemanusiaan. Bila setiap entitas itu berfungsi dengan benar, mereka dapat memberi sumbangsih bagi entitas yang lain.

Prinsip diferensiasi institusional ini akan mendorong jabatan publik tidak digunakan untuk kepentingan keluarga karena baik keluarga maupun pemerintahan merupakan dua ranah kedaulatan yang berbeda prinsip, hakikat, dan cara kerja. Contohnya, pemerintahan lebih menekankan keadilan, sedangkan keluarga lebih menekankan kasih. Bila seorang pejabat publik hendak mengasihi anggota keluarganya—dan ini tidak salah karena merupakan cara kerja ranah keluarga—ia dapat menggunakan anggaran pribadinya dan bukan anggaran pemerintah. Semangat diferensiasi institusional harus dimiliki bukan hanya oleh pejabat publik, tapi juga oleh anggota keluarga, yang kerap kali menjadi sumber godaan yang menyebabkan konflik kepentingan pada pejabat publik dan penyimpangan penggunaan anggaran negara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus