Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Hilangnya Isu Gizi Buruk

Kampanye pemilihan kepala daerah di 171 daerah telah dimulai.

9 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khudori
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampanye pemilihan kepala daerah di 171 daerah telah dimulai. Sayangnya, para calon umumnya hanya sibuk menebar janji-janji manis, bukan solusi nyata atas problem-problem mendasar dan laten di masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu isu penting yang seharusnya disoroti para kandidat adalah gizi buruk. Memang sudah ada upaya memunculkan isu ini dalam debat kandidat. Tapi isu ini sering kali jadi periferi dan pemanis belaka.

Isu ini kalah seksi dibanding isu pendidikan dan kesehatan. Mengapa? Pertama, sasaran program gizi buruk terbatas: hanya warga miskin dan kurang gizi. Adapun kandidat dituntut pandai-pandai meramu program yang bisa menggaet dan mencakup semua pemilih. Kedua, penuntasan masalah gizi buruk memerlukan waktu lama, tidak cukup hanya satu periode kepemimpinan. Konsekuensinya, hasil program ini tidak segera terlihat. Ujung-ujungnya, tidak mudah bagi kandidat untuk mengkapitalisasi hasilnya.

Hilangnya isu gizi buruk ini sebetulnya tidak terlalu mengejutkan. Di level nasional, isu ini telah lama menghilang dalam program pembangunan. Apa yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah adalah cermin kecil perpolitikan di tingkat nasional. Kejadian gizi buruk di Asmat, Februari lalu, hanyalah pucuk gunung es.

Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 mengungkap potret buram beban ganda dunia gizi negeri ini: prevalensi gizi buruk anak di bawah lima tahun (balita) meningkat menjadi 5,7 persen dari 4,9 persen pada 2010. Adapun prevalensi gizi kurang anak balita naik dari 13 persen (2010) menjadi 13,9 persen (2013). Anak stunting (bertubuh pendek) juga meningkat dari 35,6 persen (2010) menjadi 37,2 persen (2013). Pada periode yang sama, angka gizi lebih anak balita turun dari 14 persen menjadi 11,9 persen. Di sisi lain, perbaikan pendapatan memungkinkan warga mengkonsumsi kalori dan lemak melebihi kebutuhan tubuh. Namun, tak hanya mengalami kegemukan, mereka pun bisa menderita obesitas.

Gizi buruk memang kompleks. Namun faktor utamanya adalah kemiskinan. Saat inflasi tinggi, harga pangan terasa mahal. Warga miskin yang 70 persen pendapatannya untuk pangan harus merealokasikan belanja dengan menekan pos non-pangan, seperti kesehatan dan pendidikan, atau beralih ke pangan inferior guna mengamankan isi perut. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Rendahnya kualitas asupan gizi berdampak panjang bukan hanya pada kesehatan, tapi juga produktivitas dan kualitas sumber daya manusia.

Krisis gizi, tanpa kita sadari, mendorong lahirnya bencana sosial dan budaya yang amat serius. Bagaimana mungkin "bangsa kurang gizi" bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain? Bagaimana mungkin "bangsa kurang gizi" bisa kreatif dan mengemban tampuk kepemimpinan yang membawa negeri ini ke posisi terhormat di antara bangsa-bangsa di dunia?

Hilangnya isu gizi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah harus dicegah dengan menjadikan gizi sebagai isu utama. Para kandidat wajib memastikan anak balita, ibu hamil, dan lansia memiliki akses terhadap gizi yang baik dan cukup. Negara harus hadir sebagai penjamin terpenuhinya hak pangan hingga di tingkat individu, seperti amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Hal ini dilakukan lewat beragam aksi: revitalisasi posyandu, bantuan pangan bagi anak balita dan ibu hamil, program tambahan makanan anak sekolah, subsidi pangan dan stabilisasi harga pangan, serta penganekaragaman pangan berbasis pangan lokal.

Pemilih harus jeli memilih kandidat. Bagi pendatang baru, komitmen terhadap isu gizi buruk harus diikat pada alokasi anggaran yang memadai. Bagi inkumben, selain berkomitmen, bisa dilacak anggaran riil selama ini yang dialokasikan untuk gizi buruk. Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Jawa Timur, misalnya, sebesar Rp 30 triliun pada 2017. Dari total duit itu, 50 persen habis buat belanja rutin, Rp 8 triliun untuk hibah, dan Rp 7 triliun ditebar ke 56 satuan kerja perangkat daerah. Bagaimana mungkin masalah gizi buruk bisa tertangani dengan baik jika komitmen anggaran tidak memadai?

Investasi di bidang gizi sifatnya jangka panjang. Sebagai pemilih, masyarakat harus menyadari pentingnya memilih kandidat yang menghiraukan kebutuhan mereka: punya program gizi yang jelas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus