Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RESMI dilantik sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024, Ma’ruf Amin harus mampu menjawab keraguan banyak orang kepadanya. Sejumlah catatan suram yang pernah dia toreh semestinya menjadi tantangan bagi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu untuk menunjukkan dirinya lebih baik dari apa kata orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ma’ruf dipilih Joko Widodo dan partai koalisi pada detik-detik terakhir menjelang pendaftaran pemilihan umum presiden dan wakil presiden lalu. Sulit diingkari, Ma’ruf dipilih hanya untuk urusan elektoral Jokowi-mengimbangi sentimen anti-Islam yang dipakai kubu lawan untuk menghadang sang inkumben. Sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma’ruf dipersepsikan sebagai "tokoh perlawanan" dari sekelompok orang yang menganggap Islam di Indonesia tengah ditindas. Oleh inkumben, ia dianggap efektif sebagai tameng untuk menangkis serangan lawan politik. Sejarah mencatat, Jokowi telah menggunakan politik identitas untuk melawan politik identitas-strategi politik yang mungkin jitu meski sesungguhnya mencederai demokrasi dan membahayakan keberagaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ma’ruf sendiri menyimpan banyak kontroversi. Selama dia berkiprah di Majelis Ulama Indonesia, organisasi keagamaan ini makin tidak sejalan dengan perlindungan hak-hak minoritas. Salah satunya fatwa haram kepada Ahmadiyah, yang menjadi pintu masuk terjadinya kekerasan terhadap para pengikutnya di pelbagai daerah. Ma’ruf pernah pula bersaksi ke pengadilan kasus penistaan agama yang kemudian mengantarkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, ke penjara. Ma’ruf pula yang mengeluarkan fatwa penistaan agama pada Basuki-keputusan yang membuat demonstrasi besar terjadi di Jakarta pada 4 November dan 2 Desember 2016.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut sistem presidensial, jelas dinyatakan presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Dalam melaksanakan kewajiban (bukan kekuasaan) itu, presiden dibantu wakil presiden. Sebagai pembantu, wakil presiden memang setara dengan menteri, tapi jika presiden berhalangan tetap, ia adalah orang yang akan menggantikan atasannya. Dalam konteks ini, wakil presiden memegang peran penting.
Publik tentu berharap Ma’ruf mampu menjawab pelbagai tantangan. Ia harus bisa mengimbangi Jokowi, yang pada periode pertama pemerintahannya berfokus pada pembangunan ekonomi tapi mengabaikan penegakan hukum, perang terhadap korupsi, dan perlindungan terhadap kelompok minoritas. Betapapun terdengar muskil, Ma’ruf harus dapat mengambil peran dalam politik luar negeri Indonesia, pertahanan, kebudayaan, dan kebijakan nonekonomi lainnya. Sejauh ini, diketahui bahwa dia mendapat mandat untuk mengurus ekonomi syariah dan deradikalisasi kelompok garis keras agama. Ma’ruf hendaknya mau keluar dari identitas politik yang selama ini dia sandang sebagai pemimpin formal umat Islam. Sebagai wakil presiden, ia adalah pejabat negara yang mesti mengurus seluruh umat beragama dan semua golongan.
Mengharapkan Ma’ruf menjadi Bung Hatta mungkin berlebihan. Sejarah mengingat, kendati Sukarno-Hatta kerap disebut dwitunggal, setelah kemerdekaan, Hatta adalah pengkritik keras Sukarno. Dia mengambil posisi sebagai penyeimbang ketimbang hanya manut kepada kebijakan presiden. Salah satu yang terpenting adalah ketika Hatta menyampaikan pendapat yang bertolak belakang dengan Sukarno tentang peran warga negara dalam membangun negara. Hatta beropini bahwa setiap warga berhak terlibat dalam pembangunan dan, karena itu, partai politik sebagai wadah partisipasi politik publik tidak boleh dibatasi. Hatta mundur dari jabatan wakil presiden pada 1956 setelah kabinet konstituante terbentuk.
Dari Hatta, Ma’ruf hendaknya belajar: kekuasaan adalah amanah. Hatta menjauhkan anak dan keluarganya dari bisnis dan politik agar ia terhindar dari konflik kepentingan. Ma’ruf seyogianya waspada: gula kekuasaan dapat membuat seseorang salah langkah. Ia harus dapat mengelola keluarga agar tidak memanfaatkan posisinya sebagai pejabat publik untuk kepentingan bisnis dan politik lingkungan terdekatnya.
Jangan pernah berpikir untuk membangun dinasti politik-sesuatu yang lebih banyak memberikan mudarat ketimbang manfaat bagi Republik. Sejarah menunjukkan dinasti politik membuat konsolidasi demokrasi gagal karena kekuasaan hanya dikuasai segelintir orang. Tidak datang dari partai politik, Ma’ruf hendaknya tidak berpikir untuk mengkonsolidasi umat sebagai basis dukungan.
Lima tahun ke depan, Ma’ruf Amin dapat mencatatkan sejarah dirinya dengan tinta emas atau tinta hitam. Memasuki Istana lewat pelbagai kontroversi, ia hendaknya memilih yang pertama.
Catatan:
Ini merupakan artikel majalah tempo edisi 21-27 Oktober 2019