Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mandra pernah bercerita bahwa ia ketakutan ketika diundang melucu di depan Presiden Soeharto dan Ibu Tien.
Humor tidak akan lahir dari ketakutan.
Para badut menghormati kita sebagai manusia.
LELUCON, sebagaimana kebebasan, mengandung risiko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mandra, pelawak dari seri drama TV Si Doel Anak Sekolahan, bercerita bagaimana ia ketakutan sewaktu diundang mentas di depan Presiden Soeharto dan Nyonya Tien, ketika kekuasaan “Orde Baru” menjulang tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mandra, waktu itu bersama Benyamin Sueb, cemas dan kebingungan: sejak dua bulan sebelum manggung, mereka berulang kali didatangi petugas Istana, “pasukan pengawal presiden” dengan paras yang angker. Orang-orang serem ini memberi patokan kepada Mandra dan Benyamin tentang pelbagai aturan dan larangan. “Itu kita kagak pernah lepas, dua hari sekali didatengin. Nanti ngomongnya begini, enggak boleh begini,” kata Mandra.
Bukan hanya kata-kata yang harus dijaga, volume pengeras suara juga harus kecil. Walhasil, kejenakaan harus diproduksi secara terkendali. Di tiap sisi.
Lawak, yang mengharapkan orang terbahak-bahak, tentu saja tak bisa lahir dari kondisi itu—dari ketakutan. “Pantes kalau gue perhatiin semua pelawak kalau main di depan dia [Presiden Soeharto] enggak ada yang lucu,” kata Mandra, seperti yang direkam dalam kanal YouTube Baba Mandra.
Presiden dan Ibu Negara mungkin suka humor, tapi kekuasaan waktu itu—yang menyebut diri “Orde Baru”—jadi sebuah bangunan impersonal yang kokoh tapi selalu waswas. Ia lahir dari konflik dengan pertumpahan darah; ia tegang, terancam, mengancam, curiga, terus-menerus—sebuah kekuasaan politik yang berdiri seperti pohon dengan akar yang tak diketahui. Dan, ketika cabang-cabangnya tumbuh, mereka juga tumbuh dengan kecemasan. Ke pelbagai arah. Juga ke arah pertunjukan lawak.
Tapi bukan hanya dalam masa “Orde Baru”. Di bawah “demokrasi terpimpin” Sukarno, pernah ada seorang pelawak yang diinterogasi polisi hanya karena ia mempermainkan kata “Ganefo” menjadi “ganewul”. Ganefo adalah Games of the New Emerging Forces, proyek megah Bung Karno hendak membuat Olimpiade tandingan—proyek yang sebenarnya gagal. “Ganewul” adalah akronim kocak segane tiwul, “nasinya sebenarnya makanan dari singkong”.
Saya ingat Milan Kundera pernah dikutip The Christian Science Monitor, 30 Juli 1981: “Nothing is more persecuted in a totalitarian regime than laughter.” Baik rezim totaliter seperti Korea Utara maupun yang otoriter-birokratik seperti “Orde Baru” punya persoalan dalam menghadapi tertawa. Mereka mengidap gelotofobia, rasa takut kalau ditertawakan.
“Ditertawakan” memang diperlakukan sebagai “yang kurang”, “yang meleset”, bahkan “yang tolol”. Tertawa memang bisa menunjukkan sikap merasa unggul—dan tentu saja tak ada otokrat yang mau menerima orang lain, apalagi pelawak, yang menunjukkan sikap seperti itu.
Tapi tertawa juga tanda kebebasan dan pembebasan—dan ini merisaukan para penguasa. Di panggung teater, seperti dalam adegan punakawan wayang ataupun dalam tokoh badut lakon King Lear Shakespeare, tertawa tanda lahirnya kemerdekaan dan kesetaraan. The Fool, si bador, badut istana itu, bisa mengolok-olok ketika rajanya menyerahkan takhtanya kepada anak-anaknya: I am a fool, thou art nothing. “Hamba badut, paduka bukan apa-apa.”
Yang lebih mencemaskan para raja, diktator, dan otokrat adalah yang mereka lihat sebagai unsur anarki dalam tertawa. Tertawa tak pernah dirancang dari atas ataupun bawah. Ia lepas, meledak, tak bertujuan tertentu, dan bisa “ngakak”, sampai terguling-guling, tak tertahan.
Sepuluh tahun yang lalu Presiden Korea Utara—negeri paling totaliter di abad ini—melarang rakyatnya tertawa sampai 11 hari, berhubung peringatan 10 tahun wafatnya sang ayah, diktator Kim Jong-il. Polisi dikerahkan buat mencatat siapa yang mukanya tak tampak sedih.
Ini mungkin kebijakan antitertawa yang paling drastis dalam sejarah manusia, sebab di masa lalu Eropa, ketika Raja dan Gereja mengatur perilaku orang sampai batin, ketawa masih diizinkan. Bahkan dilepaskan.
Terkenal adalah apa yang dilihat Mikhail Bakhtin sebagai “carnival”: keramaian bersama dengan rasa riang yang melesat, di mana para peserta menjadi kebersamaan yang tak kenal hierarki. Dalam carnival, tak ada pangkat dan jabatan. Semua setara, semua menonton sekaligus ditonton. Tak ada aturan, juga aturan kerajaan ataupun Gereja. Perbuatan lucu, menyimpang dari tata, dimainkan di tiap sudut. Dan, di samping carnival-nya sendiri, ada prosesi macam-macam yang jenaka, misalnya pesta pandir (festa stultorum) dan risus paschalis (ketawa paskah).
Manusia butuh tertawa dan bisa merangsang tertawa—dan mungkin itu yang membedakannya dari kecerdasan buatan.
Sebab itu kita patut memberi hormat kepada para badut, dan tak lagi memakai kata itu sebagai cemooh. Para badut menghormati kita sebagai manusia. Mereka menampilkan wajah dan tubuh mereka dengan buruk—juga momen “celaka” mereka—agar kita terhibur. Teladannya adalah si pendek malang Charlie Chaplin dalam film-film bisunya. Ia, bersama Mandra dan para pelawak lain, mengatasi gelotofobia. Mereka, dengan tubuh dan bakat mereka, adalah orang yang bersedekah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo