Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berharap Keadilan pada Program Transisi Energi

Martin Dennise Silaban

Martin Dennise Silaban

Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM

Kebijakan dalam program transisi energi kerap mengancam masyarakat di sekitar proyek. Akibat ideologi pembangunan yang keliru.

13 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Transisi energi, terutama yang melibatkan sumber daya alam, menjadi titik ketegangan antara negara dan masyarakat.

  • Kebijakan yang mendorong transisi ke energi bersih sering dilihat masyarakat sebagai ancaman terhadap kehidupan mereka, bukan sebagai solusi.

  • Meskipun transisi energi yang berfokus pada energi bersih dipromosikan sebagai solusi perubahan iklim, kebijakan tersebut kerap lebih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan industri daripada kepentingan sosial masyarakat yang terkena dampak.

TINDAK-TANDUK negara dalam menghadapi perlawanan masyarakat terhadap proyek-proyek transisi energi sering dipengaruhi oleh ideologi pembangunan yang dipegang serta rasionalisasi keputusan yang dilakukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Transisi energi, terutama yang melibatkan sumber daya alam, menjadi titik ketegangan antara negara yang memandangnya sebagai langkah penting menuju masa depan yang lebih baik dan masyarakat yang terimbas, yang kerap merasa kehidupannya terancam. Dalam hal ini, respons negara terhadap perlawanan bukan hanya soal kalkulasi rasional biaya dan manfaat, melainkan juga refleksi ideologi yang mendasari kebijakan tersebut. Negara sering bertindak berdasarkan ideologi pembangunan yang mengarahkan kebijakan energi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ideologi ini—sering berakar pada pemikiran modernisme tinggi—memandang pembangunan sebagai proses ilmiah dan teknokratik yang harus diterapkan dengan prinsip rasional, tanpa mempertimbangkan pengetahuan lokal atau budaya masyarakat yang terkena dampak. Pendekatan ini kerap mengabaikan pandangan masyarakat adat yang memiliki hubungan erat dengan alam dan lingkungannya, yang acap berseberangan dengan prinsip pembangunan berbasis teknologi tinggi.

Selain itu, proyek-proyek energi berakar pada green developmentalismseperti pembangunan pembangkit listrik panas bumi—sering tidak mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan jangka panjang terhadap masyarakat. Akibatnya, kebijakan yang mendorong transisi ke energi bersih kerap dilihat masyarakat sebagai ancaman terhadap kehidupan mereka, bukan sebagai solusi.

Perpaduan kebijakan yang hadir dengan ideologi modernisme tinggi dan green developmentalism akhirnya memicu perlawanan, terutama dari komunitas yang merasakan langsung dampak kebijakan tersebut.

Rasionalisasi yang digunakan negara dalam mengambil keputusan sering berlandaskan pertimbangan ekonomi dan politik, dengan berfokus pada keuntungan jangka panjang. Dalam banyak kasus, negara lebih mengutamakan keuntungan ekonomi dari proyek-proyek energi serta mengabaikan dampak sosial dan ekologis. Berdasarkan teori pilihan rasional, negara memilih opsi yang dinilai paling menguntungkan, meskipun itu berarti mengabaikan tuntutan masyarakat lokal.

Selain itu, dalam menghadapi perlawanan masyarakat, negara kerap menggunakan pendekatan represif, seperti pembatasan akses informasi atau penggunaan kekuatan fisik. Rasionalisasi ini mencakup minimalisasi biaya gangguan sosial, dengan menganggap bahwa menanggulangi perlawanan lebih murah daripada mengakomodasi tuntutan masyarakat. Hal ini mencerminkan pola yang terbentuk di negara pascakolonial, yang kerap mempertahankan kekuasaan melalui tindakan koersif.

Dalam konteks transisi energi, negara sering berada di persimpangan antara ideologi pembangunan yang berfokus pada kemajuan teknis dan rasionalisasi pragmatis yang mengutamakan efisiensi.

Meskipun transisi energi yang berfokus pada energi bersih dipromosikan sebagai solusi perubahan iklim, kebijakan tersebut kerap lebih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan industri daripada kepentingan sosial masyarakat yang terkena dampak. Pemerintah kerap melihat transisi sebagai rangkaian tugas teknis yang harus dilaksanakan dengan efisiensi tinggi tanpa mempertimbangkan dimensi sosial dan politik.

Ketegangan ini menciptakan ruang bagi perlawanan masyarakat, yang acap dianggap sebagai hambatan dalam kemajuan yang dijanjikan transisi energi. Masyarakat yang merasa terpinggirkan melihat kebijakan energi ini sebagai ancaman terhadap keberlanjutan hidup mereka, sementara negara memandangnya sebagai upaya mencapai pembangunan berkelanjutan.

Dalam hal ini, respons negara terhadap perlawanan makin mencerminkan ideologi yang mendasari kebijakan energi tersebut serta rasionalisasi berbasis biaya-manfaat yang lebih mengutamakan efisiensi daripada keadilan sosial.

Tindakan negara dalam transisi energi tidak bisa dipisahkan dari ideologi dan rasionalisasi yang mendasari kebijakan tersebut. Negara yang mengutamakan ideologi pembangunan modernis tinggi dan green developmentalism kerap mengabaikan suara masyarakat lokal yang terkena dampak langsung. Sementara itu, keputusan negara yang lebih berorientasi pada perhitungan biaya-manfaat sering mendorong penggunaan pendekatan represif terhadap perlawanan.

Maka, untuk menciptakan transisi energi yang adil, kebijakan yang diambil harus mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat yang sering terabaikan. Pembangunan tidak hanya harus berkelanjutan secara lingkungan, tapi juga secara sosial dan kultural.

Karena itu, respons negara dalam transisi energi harus dilihat sebagai refleksi dinamika ideologi dan rasionalisasi yang saling berkelindan, bukan sekadar tindakan administratif atau teknis. Transisi energi yang adil memerlukan ruang untuk suara-suara yang kerap terpinggirkan agar tercipta pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus