Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Idul Fitri, bukan Idulfitri

Ahmadul Faqih Mahfudz*

26 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir semua kementerian dan institusi kenegaraan memiliki akun di berbagai media sosial. Dan sejak beberapa tahun lalu, setiap menjelang Leba-ran, akun-akun media sosial lembaga pemegang kebijakan (saya tidak menyebut “pemerintah” karena kata ini bermakna “tukang perintah”) itu mengampanyekan penulisan Idul Fitri menjadi Idulfitri.

Mulai media sosial milik Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, lembaga yang menyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hingga akun media sosial milik Kementerian Agama, diikuti kementerian-kementerian lain, semuanya kompak satu komando: menulis Idulfitri.

Meski begitu, saya cermati, beberapa media massa cetak dan media online atau daring di negeri ini tetap menggunakan Idul Fitri, bukan Idulfitri, apalagi idulfitri. Media massa yang masih bersetia menulis Idul Fitri itu antara lain harian Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, dan tentu saja Tempo.

Kenapa berbagai institusi negara itu memakai Idulfitri sebagai ucapan Lebaran? Karena institusi-institusi itu mengikuti KBBI V. Adapun kamus itu merujuk pada buku Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia (Grasindo, 2007), karya peneliti senior Badan Bahasa yang juga salah satu penyusun KBBI V, Abdul Gaffar Ruskhan.

Berbekal buku itu, pekamus berhujah bahwa Idul Fitri menjadi Idulfitri karena dalam bahasa Arab ia terdiri atas unsur “id” (عيد) dan “alfitri” (الفطر). Alasannya, pada posisi awal (subyek), عيد menggunakan tanda harakat u (damah): idu l-fitri. Penulisan Idul Fitri, bagi pekamus, tidak benar karena (u)l- seharusnya melekat pada فطر “fitri” sebagai penanda makrifah: al-fitri. Pekamus berkesimpulan, dalam bahasa Indonesia, “Idul” (walau “al-“ salah lekat pada “Id”) menjadi unsur terikat yang harus bergabung dengan kata sesudahnya: Idulfitri. Kaidah ini juga mereka terapkan untuk penulisan Iduladha.

Sebagai pengguna bahasa Indonesia, saya tidak setuju terhadap penulisan Idulfitri. Idul Fitri bukanlah kata serapan, melainkan nama (hari raya). Dalam konteks ini, Idul Fitri sama dengan Maha Esa. Meski maha adalah bentuk terikat, ia dipisahkan jika bersanding dengan esa karena Maha Esa sudah menjadi “nama” sila pertama Pancasila. Jika bersanding dengan kata dasar selain esa, maha harus terikat, tidak boleh dipisahkan: mahaguru, mahasiswa, Mahabesar, atau Mahamulia. Sebagaimana kata Esa yang ditulis dengan “E” besar, “F” besar pun disematkan untuk “Fitri”: Idul Fitri.

Karena nama, bukan serapan, Idul Fitri berbeda misalnya dengan sahibulhikayat dan sahibulbait. Dua kata ini bisa takluk pada kaidah bahasa Indonesia karena keduanya kata serapan. Sedangkan Idul Fitri, sebagai nama, tentu tidak bisa, bahkan tidak boleh. Ia harus ditulis sebagaimana penulisan asalnya, yakni dua kata terpisah dan dilafalkan sesuai dengan pelafalannya dalam bahasa Arab. Itu seperti halnya nama saya, Ahmadul Faqih, yang tidak boleh ditulis menjadi Ahmadulfaqih hanya karena diambil dari bahasa Arab. Baik Ahmadul Faqih maupun Idul Fitri adalah nama, bukan kata serapan, meski sama-sama dari bahasa Arab.

Dalam KBBI V, Idul Fitri ditulis serangkai menjadi Idulfitri sebagaimana sahibulhikayat, sahibulbait, sahibulhajat, dan Iduladha. Namun kamus yang benar-benar besar itu tidak konsisten. Kata sahibul mal, yang juga berasal dari bahasa Arab, justru ditulis terpisah. Kenapa tak ditulis serangkai menjadi sahibulmal?

Bukankah sahibul mal dan Idulfitri terdiri atas struktur yang sama, yaitu dari bahasa Arab dengan struktur posisi awal (subyek)صاحب dan عيد menggunakan tanda harakat u (damah): idu l-fitri; sahibu l-mal; yang jika mengikuti kaidah, penulisan (u)l- seharusnya melekat pada “fitri” dan “mal” sebagai penanda makrifah: al-fitri, al-mal? Dengan kaidah ini, bukankah KBBI V juga mesti menulis sahibul mal dirangkai, sebagaimana Idulfitri, menjadi sahibulmal?

Pada contoh kasus kata sahibul mal dalam KBBI, jangan sampai ada alasan salah tik. Salah tik dalam penyusunan kamus merupakan kesalahan fatal.

Tak kalah fatal, dan menyesatkan, apabila sebuah kamus dengan kata yang salah tik kemudian ditakzimi para editor buku, majalah, koran, dan media daring tanpa membaca isinya dengan kritis. Kalau sudah begitu, jangan heran apabila kesalahan berbahasa ini berjalan secara masif dan terstruktur.

Wahai KBBI, kembalilah pada Idul Fitri. Kembalilah pada kefitrian bahasa beserta kaidah-kaidahnya. Kembalilah, kembalilah, ke jalan—bahasa—yang benar.

*) PEMANDANG BUDAYA, TINGGAL DI BALI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus