Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Ihwal Petani Berdasi

Petani berdasi sering dikecam. Padahal, kehadirannya lewat PIR maupun non-PIR bisa mengangkat harkat para petani kecil. Dengan memburuh pada petani berdasi yang menanam komoditi ekspor, upah bisa besar.

9 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETANI berdasi sebenarnya hanyalah istilah kiasan. Yang dimaksudkan adalah mereka yang berusaha di bidang pertanian, tapi tak pernah pegang cangkul. Kalau para petani gurem, yang menurut Sayogyo, sekitar 7,6 juta KK, itu sangat laris sebagai obyek penelitian para profesor doktor kita, petani berdasi seakan tabu untuk diusut ujung pangkalnya. Padahal, selama lima tahun terakhir sampai dengan bulan Juli tahun ini, jumlah mereka, menurut BKPM, sudah mencapai 377 proyek dengan nilai investasi lebih dari 8 trilyun rupiah. Itu tadi yang terekam di BKPM yang nilai investasinya rata-rata di atas satu milyar rupiah. Padahal, di masyarakat kita, mereka yang terjun ke bidang pertanian dengan modal ratusan, bahkan puluhan juta rupiah pun sudah dibilang petani berdasi. Mereka inilah yang sering membuat waswas para ahli pertanian kita. Kenapa para petani berdasi ini bisa bikin hati para pendekar pembela petani gurem jadi geram? Konon, alasan yang lazim dikemukakan untuk mendukung rasa waswas mereka adalah: Cepat atau lambat, para petani berdasi ini pasti akan mendesak, menggusur, dan akhirnya menelan para petani gurem. Padahal, petani gurem yang bertelanjang dada inilah yang justru telah berjasa menyukseskan program swasembada pangan. Pers Indonesia yang bebas dan bertanggung jawab pun biasanya ikut-ikutan pula membela petani gurem. Ini tidak aneh. Membela yang gurem sambil menyemprot yang berdasi memang tampak lebih bergaya. Bukankah yang namanya pahlawan itu sedari dulu kerjanya selalu membela yang lemah, dan bukannya menjilat para juragan? Saat ini, salah satu komoditi yang bisa kita genjot untuk mendampingi minyak bumi sebagai penghasil devisa negara adalah komoditi pertanian. Akan tetapi, komoditi apa sebenarnya yang masih longgar daya saingnya di pasar internasional dan harganya cukup bagus pula? Apakah rempah-rempah? Minyak atsiri? Tanaman hias atau buah-buahan? Setelah komoditi-komoditi yang masih punya peluang di pasar internasional itu kita tengok, tibalah saatnya kita bertanya. Siapa yang akan terjun menangani komoditi itu? Bisakah petani gurem kita harapkan? Mampukah PNP serta PTP kita pacu agar berdiversifikasi ke komoditi tadi, dan tidak hanya mengandalkan diri pada komoditi konvensional, seperti teh, karet, tembakau, dan cokelat? Dapatkah para petani duku di Condet serta petani mangga di Probolinggo, kita paksa untuk menghasilkan duku serta mangga kualitas ekspor? Tentu sulit. Nah, di sinilah sebenarnya kita bisa mengharapkan banyak dari para petani berdasi. Jadi seharusnya, para petani berdasi ini harus kita pacu. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Celakanya, yang alergi pada petani berdasi bukan melulu para profesor doktor yang ngendon di kampus-kampus. Pihak Pemerintah pun tampak masih dengan setengah hati menerima kehadiran para petani berdasi ini. Alasannya, ya, itu tadi. Bagaimana kalau dasi mereka berseliweran kena angin, lalu menjerat leher pak tani gurem yang bertelanjang dada dan berlepotan lumpur? Jadi, kalau sampeyan ada minat untuk bikin kebun, kata pemerintah, silakan saja, asalkan pakai sistem PIR. Jadi, petani berdasi harus saling bahu-membahu dengan petani gurem. Kalau tidak mau PIR, ya, silakan tidak usah bikin kebun. Memang, PIR itu idealnya bagus sekali. Di sana tak ada buruh. Petani yang ikut PIR adalah pemilik tanah dan tanamannya. Tapi kenyataannya, yang terjadi di lapangan, lain dengan yang di atas kertas. Kasus seperti program TRI bisa saja terjadi dalam PIR. Dulu, yang tanam tebu itu adalah pabrik gula. Petani hanya terima uang sewa tanah dan ikut kerja sebagai buruh. Tapi, lalu ada TRI. Petanilah kini yang harus tanam tebu. Pabrik cuma menggiling dan menerima upah giling, berupa bagian gula dari petani. Maksud hati, dengan TRI ini para petani bisa jadi tuan di tanah mereka sendiri. Tapi, yang terjadi tetap sama saja. Petani gurem melempar tanggung jawab tanam tebu ini ke para petani berdasi, dan tinggal terima uang sewa seperti semula. Kemungkinan seperti ini, menurut kabar burung, juga terjadi di kebun-kebun PIR. Sebenarnya, kalau para petani berdasi ini bisa segera bermunculan, baik lewat PIR maupun non-PIR, kita tak perlu lagi waswas dengan nasib para buruh tani kita. Terang saja, selama ini, nasib para buruh tani itu tak menentu, karena mereka memburuh pada para petani yang belum berdasi. Mereka memburuh pada para petani yang lahannya hanya sedikit lebih luas daripada para petani gurem. Dan yang mereka tanam pun padi, palawija, paling banter sayuran murahan. Coba, kalau mereka memburuh pada para petani berdasi yang menanam komoditi ekspor, pasti upah mereka cukup besar. Jumlah buruh makin banyak, juga tak menjadi soal benar. Asal saja, jumlah para petani berdasi, yang siap untuk menampung mereka, juga kian banyak. Bagi orang-orang jenis gurem atau buruh tani, status mereka sebenarnya tak pernah menjadi masalah benar. Jadi gurem, ya, mau. Jadi kutu, boleh. Jadi buruh, oke. Yang penting, periuk nasi mereka tidak terguling. Kalau disuruh memilih, jadi buruh tapi upahnya baik, atau tetap jadi tuan petani tapi pendapatan merosot, mereka tentu pilih jadi buruh. Waswasnya Pemerintah serta para profesor kita terhadap para petani berdasi sebenarnya hanyalah ilusi. Apakah kalau Bob Sadino tanam kangkung secara besar-besaran, lalu para petani kangkung di Sunter sana pada kalang-kabut? Ternyata tidak. Orang semacam Bob Sadino pasti tidak bakalan jual kangkung di pasar inpres yang becek. Mereka pasti akan masuk ke pasar swalayan, hotel-hotel, dan kalau perlu malah ekspor. Sebaliknya, para petani kangkung di Sunter tentunya tak akan pernah memasarkan hasil produksi mereka sampai pasar swalayan atau ekspor. Pada hakikatnya, manakala ada sepuluh ekor gajah berkeliaran di lapangan bola, belum tentu seratus ekor kelinci yang lagi makan rumput di sana lantas akan mati terinjak-injak kaki gajah. Di sela-sela kaki gajah yang besar dan kuat itu kelinci masih bisa bercanda dan sangat leluasa untuk jungkir balik dan melompat-lompat, sambil menyantap rumput yang tak termakan oleh gajah. Jadi, kalau para profesor kita bilang bahwasanya para petani berdasi itu berbahaya, sebab dasinya bisa menjerat mati para petani gurem yang telanjang dada, itu hanyalah sekadar omong kosong daripada sepi. *) Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Trubus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus