Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imperium Amerika adalah istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan salah satu ciri penting konstelasi ekonomi-politik internasional dewasa ini. Beberapa tahun lalu, ahli ekonomi-politik terkenal Chalmers Johnson menggunakan istilah ini dalam sebuah buku yang mengkhawatirkan dampak upaya Amerika Serikat mempertahankan "imperium"-nya yang luas lewat kekuatan militer maupun melalui kekuatan modal dan pasarnya yang dahsyat. Tujuannya: memaksakan model pengintegrasian ekonomi dunia menurut kehendaknya sendiri.
Istilah ini jadi lebih populer sejak pemerintahan George W. Bush mengumandangkan perang melawan "teror". Para pengritiknya, di dalam dan luar negeri, menanyakan logika penggunaan teror dan kekerasan oleh AS sendiri?konon juga untuk membasmi teror. Beberapa cendekiawan Amerika mempertanyakan alasan mengaitkan pemerintahan Saddam Hussein dengan jaringan Al-Qaidah. Rezim Saddam memang bengis, tapi amat sekuler?banyak ulama dan tokoh Islam sudah menjadi korbannya.
Sebagian cendekiawan menuduh aparat keamanan AS menggunakan penyiksaan dalam menginterogasi orang-orang yang diduga berkait dengan aktivitas terorisme?sehingga melanggar prinsip hak asasi manusia yang konon dijunjung tinggi dalam nilai-nilai Amerika. Sebagian lagi menggugat retorika Bush, Cheney, Rumsfeld, dkk., yang menyatakan Saddam harus didongkel demi membuat Irak negeri yang demokratis?sambil menanyakan mengapa AS mendukung rezim-rezim pro-Amerika di Timur Tengah dan kawasan lain yang sama otoriternya. Ada pula yang menuduh kebijakan keimigrasian Amerika yang baru (bersifat diskriminatoris terhadap orang yang berasal dari Timur Tengah dan negeri lain seperti Indonesia) sebagai pengejewantahan dari sikap rasisme yang bodoh dan melanggar nilai-nilai Amerika.
Agaknya korban utama dari "Imperium Amerika" ini adalah demokrasi dan hak asasi itu sendiri. Memang, sepanjang sejarah, AS tak pernah bisa konsekuen dengan retorikanya?tengok sejarah perbudakannya dan nasib "orang aslinya". Belum lagi sejarah intervensinya kepada negeri-negeri kecil di Amerika Tengah sejak awal abad ke-20, "penahanan" terhadap warga keturunan Jepang di masa Perang Dunia II, serta kekejian yang menyertai Perang Vietnam yang sempat meluas menjadi pengeboman "rahasia" di Kamboja. Dan masih banyak lagi contohnya.
Tapi dalam hal ini Amerika juga tidak unik. Indonesia di bawah Orde Baru, misalnya, tak pernah bisa konsekuen dengan retorikanya tentang masyarakat Pancasila yang adil dan makmur. Namun, salah atau benar, AS masih dianggap sebagai simbol nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang universal. Mungkin ini hasil kedigdayaan industri fantasi Hollywood serta kehebatan media massa seperti CNN dalam menyajikan berita dari sudut pandang tertentu. Bisa jadi?untuk sebagian?ini juga hasil kebijakan pemerintahnya sendiri yang secara periodik mengeluarkan laporan tentang kondisi hak asasi di mancanegara. Namun kemunduran demokrasi dan hak asasi di AS yang belakangan terjadi, sudah pasti adalah kemunduran buat perjuangan di mana-mana.
Di Indonesia, dan negeri lainnya, kekuatan antidemokrasi (entah yang menggunakan slogan nasionalis, keagamaan, atau yang lainnya) akan panen. Lihat saja, di Indonesia sudah muncul nostalgia pada rezim Soeharto yang tamak serta kerinduan terhadap tangan besi militer. Ini pun dipupuk oleh pejabat Amerika dan Australia yang dalam pidatonya menganggap TNI sebagai satu-satunya institusi yang berjalan dengan baik di negeri ini. Tidak ingatkah mereka dengan nasib para aktivis korban penculikan yang sampai kini masih hilang? Dengan mereka yang pernah merasakan kerasnya sepatu lars di Aceh, Papua, Timor Timur?dan juga di tempat seperti Tangerang, yang menjadi salah satu ajang unjuk rasa buruh beberapa tahun terakhir?
Sebetulnya kita tak usah terlalu heran dengan kemunduran ini. Amerika adalah negeri yang begitu besar, luas, dan kompleks. Ciri-ciri demografis, sosial, ekonomi, dan budayanya begitu bervariasi. Ia adalah satu tapi sekaligus majemuk. Ia penuh kontradiksi internal. Orang yang baru pertama kali mengunjungi Washington, DC, akan terperanjat. Tak terlalu jauh dari Gedung Putih, terletaklah daerah-daerah kumuh, miskin, dan penuh kekerasan. Tidak jauh dari pusat pemerintahan yang menganggap diri sebagai "jagonya" demokrasi itu terletak permukiman orang-orang terkucil, merana, dan secara sosial ekonomi mempunyai posisi yang amat lemah.
Amerika yang penuh kontradiksi ini berisikan kekuatan yang pro maupun anti-demokrasi dan hak asasi manusia. Seperti juga di banyak negeri lain, ia berisikan pejuang persamaan hak dan lingkungan hidup, tapi juga berisikan orang-orang yang mempunyai pandangan dunia yang picik. Karena kepentingan mereka sendiri?misalnya dalam industri senjata atau industri minyak?mereka dengan senang hati memobilisasi sentimen rasis serta ketakutan dan kebingungan dalam masyarakat. Kebingungan ini sudah dilandasi jurang sosial seperti kaya-miskin yang makin luas, tapi kini ditambah dengan ketakutan hebat yang menyertai peristiwa 11 September. Peristiwa tersebut sebetulnya membawa berkah pada mereka?seperti juga kekuatan antidemokrasi di seluruh dunia.
Kini terjadi banyak demonstrasi di AS menentang solusi militer yang kelihatannya digandrungi pemerintahan Bush. Demonstrasi ini melibatkan ribuan rakyat biasa. Tinggal merekalah yang menjadi tanda bahwa nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan universal masih hidup di sebagian masyarakat Amerika. Mungkin dalam jangka panjang, hanya merekalah lawan yang setimpal terhadap Imperium Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo