Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Imunitas KPK Versus Impunitas Koruptor

Beberapa hari belakangan, banyak aksi teatrikal di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi hingga di jalanan, termasuk meletakkan keranda di depan gedung KPK.

17 September 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa hari belakangan, banyak aksi teatrikal di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi hingga di jalanan, termasuk meletakkan keranda di depan gedung KPK. Aksi tersebut merupakan bagian dari protes masyarakat dan KPK terkait dengan beberapa hal yang dinilai melemahkan KPK. Sebenarnya ada dua persoalan yang kemudian disimpulkan oleh banyak pihak, termasuk pegiat antikorupsi, sebagai upaya pelemahan KPK. Seruan dan tagar #SaveKPK kembali diteriakkan menyikapi dua hal tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persoalan pertama adalah proses pemilihan pemimpin hingga terpilihnya pimpinan KPK periode 2019-2023. Pemimpin yang terpilih tersebut dinilai tidak memiliki rekam jejak yang bagus bahkan KPK justru mengumumkan pelanggaran etik terhadap Inspektur Jenderal Firli Bahuri sehari sebelum uji kelayakan dan kepatutan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Faktanya, kini Firli justru terpilih sebagai Ketua KPK.

Setelah pemilihan pemimpin KPK tersebut, justru tiga pemimpin KPK periode 2015-2019 memilih untuk mengembalikan mandat kepada presiden. Akibatnya, kini secara kelembagaan KPK justru mengalami pelemahan karena tanpa pemimpin yang sah. Dengan demikian, penanganan semua perkara korupsi akan terhenti.

Persoalan kedua adalah soal Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK yang merevisi Undang-Undang KPK yang berlaku saat ini, yang dipandang memangkas independensi dan kewenangan KPK. Selain itu, jika RUU tersebut disahkan, KPK akan rawan diintervensi. Misalnya, penyadapan harus seizin dewan pengawas. Padahal penyadapan selama ini menjadi senjata "ampuh" KPK dalam pemberantasan korupsi.

Kini, masyarakat berharap agar pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, akan memperkuat kedudukan KPK, bukan sebaliknya. Masyarakat sudah memahami bahwa para koruptor akan berupaya untuk melemahkan KPK. Sebagaimana diuraikan oleh Gray Lincoln (2005), lembaga antikorupsi senantiasa akan mengalami "percobaan" pelemahan. Sebab, secara kriminologis, lembaga antikorupsi merupakan hambatan bagi para koruptor terhadap akses perilaku koruptif.

Seluruh elemen masyarakat setuju bahwa bahaya akut korupsi harus dihentikan dan KPK harus dipimpin oleh orang yang berintegritas serta memiliki rekam jejak yang baik. Sayangnya, pemimpin KPK yang baru sudah terpilih dan tidak mungkin dianulir. Meski demikian, masyarakat harus tetap memberikan dukungan kepada KPK, bukan kepada personal pemimpinnya.

Mahogani (2001) menguraikan bahwa grand design dari koruptor yang memiliki akses pada dunia politik adalah melemahkan lembaga pemberantasan korupsi guna menciptakan impunitas. Grand design impunitas yang diharapkan adalah terciptanya kondisi ketika masyarakat melupakan atau terlupakannya peristiwa korupsi yang dilakukan oleh para politikus karena masyarakat telah apriori atau memandang korupsi sebagai hal yang wajar.

Menukar "kenikmatan" korupsi dengan impunitas adalah cita-cita koruptor yang harus dilawan. Maka unsur pemimpin KPK lama dan yang baru harus menunjukkan kesungguhannya untuk melawan grand design pelemahan KPK ini. Dengan upaya yang teguh dari para pemimpin KPK, masyarakat juga akan secara konsisten memberi dukungan dalam pemberantasan korupsi. Semua pihak, termasuk Presiden, harus membuktikan kepada masyarakat dengan menolak pelemahan KPK.

Ada sejumlah langkah terakhir yang mungkin dilakukan Presiden dan KPK bila RUU KPK akhirnya disahkan. Masyarakat akan melihat apakah Presiden berani menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yang menjadi hak subyektifnya, karena ada kegentingan. Dalam hal inilah masyarakat melihat seberapa gentingnya pelemahan pemberantasan korupsi bagi Presiden.

Cara lain adalah pemimpin KPK yang baru dapat melakukan judicial review terhadap Undang-Undang KPK baru jika nantinya melemahkan KPK. Pemimpin KPK adalah pihak yang paling berkepentingan terhadap kewenangan dan independensi KPK, maka keberanian pemimpin KPK terpilih untuk melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi juga turut menjadi parameter masyarakat apakah pemimpin KPK terpilih memberikan imunitas kepada KPK atau justru sebaliknya, memberikan impunitas kepada koruptor.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus