Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Indonesia dan Kursi Dewan Keamanan PBB

Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2019-2020.

29 Juni 2018 | 07.02 WIB

Kamapradipta Isnomo (paling kanan) Wakil Ketua Komite Perlucutan Senjata dan Keamanan Internasional PBB  dalam voting resolusi traktat penghapusan senjata nuklir di Markas Besar PBB, New York, 28 Oktober 2016. (Foto: PTRI New York)
Perbesar
Kamapradipta Isnomo (paling kanan) Wakil Ketua Komite Perlucutan Senjata dan Keamanan Internasional PBB dalam voting resolusi traktat penghapusan senjata nuklir di Markas Besar PBB, New York, 28 Oktober 2016. (Foto: PTRI New York)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Alek K. Kurniawan
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2019-2020. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah memaparkan bagaimana perjuangan diplomasi Indonesia hingga mendapatkan dukungan lebih dari dua pertiga negara anggota PBB agar terpilih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita bertepuk tangan atas kampanye intensif bertahun-tahun yang telah dilakukan pemerintah hingga mendapatkan dukungan sebanyak itu. Tapi perkenankan saya mengetengahkan sudut pandang yang berbeda.

Tak ada sebenarnya yang begitu istimewa dari kabar itu. Indonesia telah memegang kursi anggota tidak tetap Dewan Keamanan dalam tiga periode: 1973-1974, 1995 -1996, dan 2007 -2008. Tapi, bagaimanapun, inilah bagian dari mandat konstitusi Indonesia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang didasari kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial-suatu cita-cita yang amat mulia. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa kekuatan veto kelompok Lima Besar (Amerika Serikat, Cina, Rusia, Prancis, dan Inggris) di Dewan kerap membuat cita-cita semacam itu terpental jauh.

Lain halnya dengan Jepang dan India, yang punya misi lebih jauh dari sekadar menjadi anggota tidak tetap. Mereka ingin merombak sistem dan menjadi anggota tetap. Jepang bahkan menempatkan diri sebagai kontributor pendanaan kedua di PBB setelah Amerika Serikat. Bagi PBB, yang kerap menghadapi kendala pendanaan, menolak Jepang tentu akan mempersulit hidup sendiri. Tapi keinginan Jepang dihadang Cina, yang merasa punya masalah dengan Negeri Sakura. Demikianlah, cara mewujudkan perdamaian dunia ternyata ditentukan oleh kepentingan negara.

Adapun India kini berada pada posisi terdepan dalam diplomasi menjadi anggota tetap Dewan Keamanan. Banyak dukungan yang mengalir ke negara itu. Pada akhir 2015, pemerintah Inggris menyatakan dukungan kuat bagi keanggotaan permanen India di Dewan.

Tapi India dan sekutunya di G4 (Brasil, Jepang, dan Jerman) menghadapi tentangan kuat dari Uniting for Consensus (UfC), kelompok besar negara yang dipimpin Italia dan Pakistan. UfC menginginkan status quo dari lima anggota tetap Dewan dipertahankan dan meminta penambahan jumlah anggota tidak tetap menjadi 20.

Pada 2016, Maleeha Lodhi, Perwakilan Tetap Pakistan untuk PBB, mengkritik tawaran perluasan anggota tetap. Dia berpendapat bahwa penambahan kursi anggota tetap hanya mencerminkan ambisi nasional yang melayani beberapa negara dengan mengorbankan keanggotaan organ dunia lainnya.

Perluasan anggota tetap Dewan Keamanan merupakan salah satu tantangan PBB yang klasik dan membutuhkan konsensus yang sulit serta lama. Perundingan untuk itu juga membutuhkan persetujuan pemegang hak veto dan kesepakatan setidaknya dua pertiga anggota Majelis Umum PBB.

Mekanisme pengambilan keputusan di Dewan Keamanan yang mensyaratkan persetujuan Lima Besar sering kali menyulitkan organ ini dalam mengambil keputusan secara cepat dan tegas. Desra Percaya, mantan Duta Besar RI untuk PBB, mengatakan veto ataupun ancaman penggunaannya sering dimanfaatkan oleh anggota tetap untuk kepentingan nasional masing-masing atau membela sekutunya.

Ketika masyarakat dunia mengecam aksi Israel di Palestina, misalnya, Amerika Serikat memveto resolusi Dewan yang menolak keputusan Presiden Donald Trump soal pemindahan kedutaan Amerika ke Yerusalem. Sekali lagi upaya mewujudkan perdamaian terpental jauh.

Selain itu, sejauh mana sebenarnya upaya mewujudkan perdamaian dunia yang dapat dilakukan bagi anggota tidak tetap yang masa jabatannya hanya dua tahun? Dalam dunia internasional, untuk urusan damai saja, misalnya membuat suatu kerja sama atau perjanjian internasional, membutuhkan waktu yang panjang dan bahkan bisa puluhan tahun.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus