Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM lama ini, Kejaksaan Agung mengungkap dugaan kasus korupsi dan perusakan lingkungan yang melibatkan perusahaan dengan nilai kerugian fantastis. Selain menjadi perhatian publik karena taksiran jumlah kerugian negara sangat besar, kasus ini menyadarkan masyarakat bahwa citra perusahaan yang ramah lingkungan dapat bertolak belakang dengan operasi perusahaan yang sebenarnya merusak lingkungan. Perusahaan atau produk yang sebenarnya tidak ramah lingkungan tapi menampilkan diri sebagai pelestari lingkungan, bahkan mendapat penghargaan atas laporan keberlanjutannya, merupakan contoh nyata praktik pencucian hijau atau greenwashing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan greenwashing menurunkan kredibilitas upaya penurunan emisi gas rumah kaca dan krisis iklim. Hal itu terjadi melalui klaim keberlanjutan yang menyesatkan masyarakat, konsumen, dan investor. Istilah greenwashing pertama kali dipopulerkan oleh seorang peneliti dan aktivis lingkungan, Jay Westerveld. Pada 1986, ia menyoroti upaya penghematan biaya industri perhotelan dengan alasan pelestarian lingkungan kepada para konsumennya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terdapat tiga alasan utama perusahaan melakukan greenwashing. Pertama adalah alasan hukum untuk memitigasi risiko litigasi dengan membuat laporan atau mendiseminasikan diri sebagai perusahaan yang patuh pada regulasi lingkungan hidup.
Kedua adalah alasan pemasaran. Sejalan dengan naiknya kepedulian masyarakat terhadap usaha berkelanjutan, makin banyak konsumen menggunakan produk-produk dengan label ramah lingkungan. Survei World Wildlife Fund dan Nielsen pada 2017 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen konsumen di kota-kota besar Indonesia bersedia membayar lebih mahal untuk produk-produk ramah lingkungan.
Ketiga adalah alasan keuangan. Investor menganggap usaha yang ramah lingkungan memiliki risiko lebih rendah dan keuntungan lebih stabil dalam jangka panjang. Karena itu, perusahaan yang peduli serta mengungkapkan aktivitas lingkungannya memiliki akses pendanaan yang lebih besar dan biaya dana yang lebih murah.
Dari berbagai alasan tersebut, greenwashing tidak hanya akan menyebabkan pembiaran terhadap kerusakan lingkungan, tapi juga berdampak terhadap perekonomian. Kepercayaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dianggap ramah lingkungan serta produk keuangan berkelanjutan akan menurun.
Belum Ada Ketentuan Spesifik
Meskipun merupakan salah satu negara yang berkomitmen terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan, Indonesia belum memiliki ketentuan spesifik yang khusus mengatur praktik greenwashing. Meski demikian, kewajiban memberikan informasi yang benar ihwal upaya pelestarian dan perlindungan lingkungan sebenarnya telah diatur dalam beberapa ketentuan.
Untuk perusahaan, misalnya, ada Pasal 68 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan ini mewajibkan entitas usaha memberikan informasi perihal perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu.
Dalam konteks perlindungan konsumen, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memastikan hak konsumen mendapat informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta jaminan barang dan jasa. Hal ini berarti produk yang dipasarkan secara tidak benar sebagai produk hijau atau ramah lingkungan dapat melanggar hak konsumen berdasarkan undang-undang ini.
Secara khusus di sektor keuangan, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan mewajibkan pelaku sektor keuangan dan perusahaan di pasar modal menyampaikan laporan keberlanjutan sebagai bentuk akuntabilitas penerapan keuangan berkelanjutan. Hal ini menegaskan kewajiban laporan keberlanjutan lembaga jasa keuangan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51 Tahun 2017 tentang Keuangan Keberlanjutan.
Namun tiadanya fokus penindakan praktik greenwashing di Indonesia menyebabkan ketentuan-ketentuan tersebut seperti macan ompong dalam menghukum praktik pemberian informasi lingkungan yang menyesatkan publik.
Indonesia dapat belajar dari beberapa negara lain, seperti Uni Eropa dan Australia, yang lebih dulu mengeluarkan payung hukum tentang pengawasan praktik greenwashing. Ketentuan baru di negara-negara tersebut mempertegas kewenangan lembaga pengawasan pasar dan perlindungan konsumen serta otoritas sektor keuangan dalam menindak praktik greenwashing.
Mencegah Greenwashing di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, payung hukum tersebut dapat meningkatkan koordinasi pengaturan greenwashing lintas kementerian dan lembaga, termasuk mengatasi potensi terjadinya tumpang-tindih pengawasan serta pembiaran terhadap perusahaan atau produk yang mengklaim dirinya masuk kategori hijau.
Optimisme koordinasi sebenarnya telah muncul dari hadirnya taksonomi keuangan berkelanjutan Indonesia hasil sinergi 14 kementerian serta lembaga yang terkait dengan lingkungan hidup dan perekonomian nasional.
Taksonomi tersebut merupakan panduan klasifikasi bagi aktivitas ekonomi untuk masuk kategori "hijau", "transisi", atau "tidak memenuhi klasifikasi". Namun taksonomi tersebut akan jauh lebih efektif apabila memiliki dasar hukum yang mewajibkan adopsi klasifikasi yang sama dalam regulasi semua instansi pemerintah.
Selain dari sisi pengaturan dan koordinasi pengawasan pemerintah, partisipasi masyarakat sangat penting dalam upaya pemantauan praktik greenwashing. Masyarakat yang makin kritis seharusnya tidak menelan mentah-mentah promosi dengan label ramah lingkungan, hijau, atau keberlanjutan.
Hukuman sosial masyarakat berupa turunnya kepercayaan dan konsumsi terhadap produk-produk yang menyampaikan informasi lingkungan yang sesat merupakan salah satu sanksi efektif menekan praktik greenwashing.
Lebih jauh lagi, publik dapat mengumumkan atau melaporkan perusahaan yang diduga melakukan greenwashing. Hal ini tentu harus didukung dengan proses edukasi dan keberpihakan pemerintah kepada para pelapor atau whistleblower yang berani mengungkap kasus greenwashing. Sebagai contoh, Southern Weekly, salah satu media massa yang terafiliasi dengan pemerintah di Cina, rutin mempublikasikan daftar perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan praktik greenwashing.
Terungkapnya kasus kerusakan lingkungan dengan nilai yang sangat besar oleh perusahaan dengan klaim ramah lingkungan seharusnya menjadi momentum penting gerakan anti-greenwashing di Indonesia.
Terakhir, seperti yang disampaikan Jay Westerveld, pertanggungjawaban lingkungan yang hanya mengikuti suatu tren merupakan hal berbahaya. Kita tentu tidak ingin terperangkap dalam tren yang salah, menjadi generasi yang membiarkan praktik greenwashing, yang menurunkan kredibilitas upaya pelestarian lingkungan, serta menyembunyikan kerusakan sumber daya alam.
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.