Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Intoleransi pada Hari Reformasi

Menjelang dua puluh tahun reformasi, yang antara lain menuntut perlindungan terhadap hak asasi manusia

21 Mei 2018 | 07.41 WIB

Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. Selain menuntut diturunkannya Soeharto dari Presiden, Mahasiswa juga menuntut turunkan harga sembako, dan cabut dwifungsi ABRI. TEMPO/Rully Kesuma
Perbesar
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. Selain menuntut diturunkannya Soeharto dari Presiden, Mahasiswa juga menuntut turunkan harga sembako, dan cabut dwifungsi ABRI. TEMPO/Rully Kesuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Menjelang dua puluh tahun reformasi, yang antara lain menuntut perlindungan terhadap hak asasi manusia, tindakan diskriminatif terhadap sebagian warga negara masih saja terjadi. Akhir pekan lalu, sekelompok orang menyerbu penganut Ahmadiyah di Sakra Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Peristiwa memalukan yang membuat 24 penduduk terusir serta merusak enam rumah dan sejumlah sepeda motor itu semakin menegaskan sikap intoleran sebagian warga Indonesia. Sebelumnya, ujaran kebencian merajalela di ruang-ruang publik. Pekan lalu kita bahkan menghadapi tragedi berdarah ketika satu keluarga meledakkan diri untuk menyerang tiga gereja di Surabaya, lalu disusul ledakan di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya dan Rumah Susun Wonocolo, Sidoarjo, yang melibatkan dua keluarga lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah toleransi, yang sejak dulu didoktrinkan sebagai "keunggulan warga negara Indonesia", seolah-olah semakin tipis-kalau tidak mau dikatakan telah sirna. Perbedaan, yang seharusnya menyatukan, menjadi hal yang sering memantik pertikaian. Menurut organisasi nonpemerintah, Setara, pada tahun lalu terjadi 155 kasus intoleransi di 29 provinsi. Kasus-kasus serupa terjadi pada awal tahun ini.

Semua pihak semestinya bersama-sama mengatasi situasi, terutama ihwal kelangsungan hidup penganut Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat. Pemerintah provinsi itu dan kepolisian setempat merupakan pihak yang paling bertanggung jawab. Sebab, penganut Ahmadiyah di wilayah itu telah mengalami perlakuan diskriminatif setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Penyerangan dan pengusiran terus mereka alami sepanjang satu dekade ini. Padahal Konstitusi menjamin kebebasan warga negara untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Ketidaktegasan pemerintah pun membuat banyak pengungsi Ahmadiyah di Lombok hingga kini masih menetap di lokasi-lokasi pengungsian. Mereka terusir bertahun-tahun dari tanah milik mereka sendiri. Penganut Ahmadiyah-juga banyak kelompok minoritas lainnya-tidak merasakan kemerdekaannya. Jelas, hal ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar yang juga mengatur setiap orang bebas tinggal di wilayah Indonesia.

Kepolisian semestinya memproses secara hukum para pelaku persekusi terhadap warga Ahmadiyah ini. Tindak kekerasan terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda akan terus berulang bila tak ada sanksi hukum bagi pelakunya. Jika pemerintah dan aparat keamanan daerah tidak mampu melakukannya, pemerintah pusat sudah sepatutnya turun tangan.

Salah satu janji pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang disetor ke Komisi Pemilihan Umum pada 2014 jelas menyatakan jaminan perlindungan serta hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pasangan ini juga berjanji melakukan langkah hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama. Keduanya berutang kepada penganut Ahmadiyah dan kelompok minoritas lainnya yang hingga kini belum merasakan kemerdekaan Indonesia.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus