Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELEDAKNYA gudang peluru milik Komando Daerah Militer Jayakarta di Ciangsana, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, memunculkan pertanyaan: bagaimana Tentara Nasional Indonesia memelihara dan mengawasi amunisinya? Selain membahayakan personel TNI, ledakan tersebut mengancam keselamatan masyarakat sekitar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebanyak 65 ton amunisi yang terdiri atas 160 ribu jenis yang tersimpan di salah satu gudang peluru milik TNI di perbatasan Bekasi-Bogor meledak sekitar pukul 18.00 pada Sabtu, 30 Maret 2024. Video yang tersebar di media sosial menggambarkan kobaran api dari kejauhan membuat langit di sekitar kawasan itu memerah. TNI mengklaim tidak ada korban jiwa. Kendati demikian, warga yang bermukim di kluster Visalia di Kota Wisata Cibubur terkena dampak paling parah. Puluhan rumah rusak dan sebanyak 133 keluarga dievakuasi.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyebutkan tak ada kesalahan prosedur dalam penyimpanan amunisi yang diklaim sudah kedaluwarsa itu. Menurut Panglima, ledakan ada kemungkinan dipicu oleh gesekan amunisi yang disimpan di bawah tanah tersebut. Karena penyebab pastinya belum jelas, investigasi yang serius perlu dilakukan. Panglima semestinya tak buru-buru menutup kemungkinan adanya pelanggaran prosedur ataupun kesalahan manusia.
Ledakan di Ciangsana menambah panjang daftar gudang amunisi yang meledak. Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya ada empat kasus, termasuk kejadian di Ciangsana. Kejadian pertama pada 5 Maret 2014, ketika gudang amunisi di Markas Komando Pasukan Katak di Pondok Dayung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, meledak. Insiden itu melukai 87 orang dan satu orang tewas. Lalu gudang yang berisi bahan peledak milik Brimob Polda Jawa Tengah meledak pada 14 September 2019 dan melukai satu orang. Berikutnya gudang milik Detasemen Gegana Brimob Polda Jawa Timur meledak pada 4 Maret 2024. Ledakan tersebut mengakibatkan 10 polisi terluka.
Rawannya gudang amunisi meledak mesti menjadi pelajaran bagi TNI dalam menginvestigasi kejadian di Ciangsana. Investigasi tak hanya mencari penyebab ledakan, tapi juga mengevaluasi lokasi gudang amunisi yang kini berada di tengah permukiman penduduk. Beroperasi sejak 1987, gudang amunisi di Ciangsana awalnya berada jauh dari rumah penduduk sehingga dianggap aman. Seiring berjalannya waktu, kawasan tersebut mulai dipadati penduduk. Jarak dengan permukiman hanya sekitar 200 meter.
Dengan kondisi itu, semestinya TNI bisa lebih cepat mengambil keputusan dalam merelokasi gudang. Kalaupun relokasi tak bisa dilakukan karena sulitnya mencari kawasan yang ideal untuk instalasi militer, TNI sejak jauh-jauh hari harus memperketat semua prosedur yang berkaitan dengan penyimpanan amunisi. Selain itu, memastikan daerah penyangga steril dan memiliki jarak yang aman dari rumah penduduk. Dalam hal ini, koordinasi lintas sektor untuk memastikan tata ruang tetap mendukung keberadaan instalasi militer tak boleh diabaikan.
Kini, gudang Ciangsana sudah telanjur meledak. Agar ledakan dan dampak terburuknya tak terjadi di gudang yang lain, TNI perlu segera memeriksa kondisi semua tempat penyimpanan amunisi. Dari keberadaan alarm hingga alat pendingin di ruang penyimpanan, dari kesterilan daerah penyangga hingga jaraknya dengan permukiman penduduk.
Hal yang juga tak kalah penting adalah pendataan amunisi. Amunisi kedaluwarsa perlu segera dimusnahkan untuk mengurangi risiko ledakan. Dalam peristiwa di Ciangsana, TNI tak segera memusnahkan amunisi yang kedaluwarsa meskipun mengetahui barang tersebut teronggok di gudang. Sebagaimana pernyataan TNI sendiri bahwa amunisi kedaluwarsa sudah menurun kondisinya sehingga rentan meledak.
Ini sebenarnya bisa menjadi petunjuk awal untuk menginvestigasi insiden tersebut.