Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Jauh Gaji dari Prestasi 

Langkah pemerintah melanjutkan pembahasan kenaikan gaji pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sekitar Rp 300 juta sangatlah tidak tepat.

12 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah selayaknya menghentikan pembahasan rencana kenaikan gaji pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Usul kenaikan gaji itu tak sepadan dengan kinerja pimpinan KPK periode 2019-2023 yang minim prestasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sedang menyusun rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2015, yang mengatur kenaikan gaji para pemimpin lembaga antikorupsi itu. Besaran kenaikannya masing-masing menjadi Rp 300 juta dari semula Rp 123,9 juta untuk ketua, dan Rp 112,5 untuk wakil ketua.

Selain tidak sensitif karena dibahas di tengah wabah, rencana kenaikan gaji itu menunjukkan bahwa pemerintah tak punya indikator yang bisa dipertanggungjawabkan mengenai kinerja pemimpin sebuah lembaga. Bila ukurannya adalah prestasi, untuk pemimpin KPK era Firli Bahuri dan kawan-kawan, rencana kenaikan gaji itu jauh panggang dari api. Alih-alih membuat gebrakan untuk mempertajam taji KPK, sejak dilantik pada 20 Desember 2019 kepemimpinan Firli Bahuri dan kawan-kawan malah memperkuat pesimisme akan masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini.

Keputusan pemimpin KPK periode ini yang kontroversial, misalnya, adalah penghentian penyelidikan 36 kasus dugaan korupsi dua bulan setelah mereka dilantik. Kontroversi lain berkaitan dengan pengembalian penyidik jaksa Sugeng ke instansi asalnya, Kejaksaan Agung. Sugeng adalah jaksa yang pernah memeriksa dugaan pelanggaran etik oleh Firli ketika menjabat Deputi Penindakan KPK. Firli diduga melanggar etik karena bertemu dengan pihak yang beperkara, yakni Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi.

Sempat ada harapan ketika KPK menangkap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, yang diduga menerima suap dari politikus PDI Perjuangan, Harun Masiku. Tapi belakangan diketahui, surat penyidikan kasus itu diteken pemimpin KPK sebelumnya. Adapun operasi tangkap tangan dilakukan senyap tanpa diketahui banyak anggota pimpinan, termasuk Firli.

Belakangan, Firli malah memberhentikan penyidik kasus ini, yakni Rosa Purbo Bekti, dan mengembalikan sang penyidik ke instansi asalnya, Kepolisian RI. Pemimpin KPK berdalih Rosa diminta pulang oleh induk semangnya. Namun Markas Besar Polri menyatakan Rosa belum waktunya dikembalikan.

Wajar kalau kemudian kepercayaan publik terhadap KPK tergerus. Ini tecermin dari hasil survei mutakhir tiga lembaga sigi. Misalnya, Indo Barometer menyebutkan, dalam dua bulan kepemimpinan Firli, tingkat kepercayaan publik melorot ke peringkat empat dari sebelumnya langganan tiga besar. Hasil survei terbaru, yang dilansir Indikator pada 7 Juni lalu, menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK kini malah di bawah Kepolisian RI. Sebelumnya, peringkat KPK selalu di atas Kepolisian.

Dengan sederet catatan minus itu, pimpinan KPK seharusnya merasa malu dan menolak rencana pemerintah menaikkan gaji mereka. Toh, tanpa kenaikan pun, gaji pimpinan KPK saat ini sebenarnya sudah di atas rata-rata gaji resmi pimpinan lembaga negara lainnya. *

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus