Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI TENGAH kondisi ekonomi yang serba sulit, tak sepatutnya pemerintah meneruskan rencana menggalang dana pariwisata melalui pungutan tambahan pada tiket pesawat. Pungutan semacam ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mengembangkan industri pariwisata dengan cara yang sehat, termasuk menggandeng investor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berniat mengumpulkan dana pengembangan pariwisata atau Indonesia Tourism Fund (ITF) yang akan digunakan untuk berbagai keperluan, dari mendanai acara berkelas internasional hingga promosi destinasi pariwisata. Acuan dari ITF adalah dana abadi di beberapa negara, seperti Singapura. Di sana, selain dari anggaran pemerintah, hibah, dan sponsor, dana pariwisata disumbang oleh pelaku bisnis pariwisata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Target pengumpulan dana pariwisata tak main-main: Rp 2 triliun dalam tahap awal. Pemerintah mengklaim penggunaan dana tersebut akan mengedepankan prinsip tata kelola yang baik serta diarahkan untuk pengembangan sektor pariwisata secara berkelanjutan. Sebagai contoh, menurut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ITF bisa digunakan untuk merehabilitasi hutan bakau yang bisa menyerap karbon sekaligus menjadi destinasi wisata.
Melihat tujuan penggunaannya, dana abadi pariwisata memang diperlukan. Persoalannya, pengumpulan dana publik, apalagi dibebankan melalui mekanisme tarif seperti tiket pesawat, bakal melanggar banyak hal, termasuk melanggar regulasi yang dibuat pemerintah sendiri.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan penetapan tarif penumpang dihitung berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, serta tuslah atau pembayaran atas biaya lain yang dikeluarkan maskapai penerbangan di luar pajak. Artinya, pemerintah akan melanggar Undang-Undang Penerbangan jika membebankan iuran dana pariwisata dalam komponen harga tiket pesawat.
Persoalan lainnya adalah penggunaan dana tersebut, apakah akan sesuai dengan klaim pemerintah soal pengembangan pariwisata berkelanjutan atau sebaliknya. Selain rawan akan penyelewengan dan korupsi, pengelolaan industri pariwisata di Tanah Air masih jauh dari prinsip berkelanjutan.
Contohnya, pengembangan destinasi wisata di Taman Nasional Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. Eksploitasi wilayah taman nasional oleh pemegang konsesi mengancam ekosistem di sekitar lokasi tersebut sehingga diberi peringatan keras oleh UNESCO, organisasi PBB yang bergerak di bidang pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan. Akan menjadi persoalan besar apabila dana pariwisata yang dihimpun dari publik disalurkan untuk pengembangan destinasi wisata semacam ini.
Penggalangan dana pariwisata dari kantong publik menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk "menjual" potensi pariwisata nasional kepada investor. Pemerintah harus melihat kenyataan di negara lain, yang pengembangan destinasi wisatanya dijalankan oleh investor atau bahkan pendanaan dari donor dan filantropi. Dengan cara inilah industri pariwisata bisa berkembang dengan sehat tanpa mengganggu dana publik, termasuk anggaran negara.
Karena itu, pemerintah seharusnya menyetip opsi iuran publik dalam penggalangan dana pariwisata. Demi menarik investor atau donor, pemerintah harus menciptakan iklim bisnis yang sehat, membenahi infrastruktur dasar di sekitar destinasi wisata, hingga menjalankan praktik birokrasi yang efisien dan transparan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak investor yang batal membenamkan modal lantaran terjegal perizinan yang rumit serta ekonomi biaya tinggi.
Selain bersepakat dalam kerja sama yang saling menguntungkan, pemerintah harus mengawasi investor yang mengelola destinasi wisata demi memastikan terpenuhinya aspek keberlanjutan. Sudah seharusnya negara mendapatkan imbal hasil besar dari kerja sama semacam ini. Bukannya malah menanggung kerugian akibat lingkungan yang rusak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo