Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Jagat Joker yang Kelam

Sebuah cerita asal muasal Joker yang menyimpang dari komik dan justru menampilkan drama yang brilian.  

21 Oktober 2019 | 18.59 WIB

Joaquin Phoenix, The Joker, Johnny Cash, Commodus, Yesus, Freddie Quell
Perbesar
Joaquin Phoenix, The Joker, Johnny Cash, Commodus, Yesus, Freddie Quell

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

JAGAT JOKER YANG KELAM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah cerita asal muasal Joker yang menyimpang dari komik dan justru menampilkan drama yang brilian.

 

JOKER

Sutradara     : Todd Phillips

Skenario       : Todd Phillips, Scott Silver

Pemain         : Joaquin Phoenix, Zazie Beetz, Robert De Niro

 

 

 

Jack Nicholson, Heath Ledger, lalu jauh nun di sana di ujung spektrum ada nama Joaquin Phoenix.

 

            Tokoh Joker yang diwujudkan oleh Joaquin Phoenix dengan luar biasa ini tentu saja bukan hanya karena dia menampilkan satu sosok ‘baru’ dan juga bukan sekedar kontroversi. Tetapi sesungguhnya sutradara Todd Phillips dan penulis skenario Scott Silver  telah berhasil menulis ulang asal muasal bagaimana terbentuknya sosok Joker.

            Mengaku sekedar terinspirasi dari tokoh villain Batman di jagat DC

yang lahir dari tangan Bob Kane, Jerry Robinson dan Bill Finger di komik Batman tahun 1940, duo  Phillps dan  Silver  mengambil ‘sumsum’ kisah “Batman: The Killing Joke” (1988) yang menampilkan tokoh Joker sebagai seorang pelawan gagal.

Maka awal dari film ini  menampilkan Gotham City di tahun 1981 yang kacau balau yang dikuasai para tikus (metafora dan nyata) dan perbedaan kaya dan miskin semakin parah.  Arthur Fleck  (Joaquin Phoenix)  mencoba tersenyum, sembari memaksa kedua ujung bibirnya melebar hingga telinga sementara sebutir airmata meluncur di atas pipinya. Pada menit pertama, dia adalah seorang badut yang penuh kepedihan.

            Dia bukan saja badut yang habis digocoh remaja sialan di jalan; atau yang dikhianati kawan sesama badut yang diam-diam membekalinya dengan sepucuk pistol; atau yang sehari-hari harus mengurus ibunya yang sakit-sakitan sembari menemaninya menyaksikan Murray Franklin Show, komedian terkemuka (Robert de Niro) yang menjadi idolanya. Dia adalah seseorang yang tak diingini kehadirannya sejak awal, tak disadari kehadirannya dan hingga dewasapun –menurut dirinya—tak penting. Bahwa dia pernah dirawat di rumah sakit jiwa dan masih tergantung tujuh macam obat penenang, tak juga membuat dia bisa mengatasi sarafnya yang sering membuat dia tertawa terpingkal-pingkal tanpa sebab.

            Film ini bukan saja jauh dari hiruk pikuk dan berisiknya jagat superhero yang serba CGI (Computer-Generated Imagery)  dan serba gagah dan cantik. Film “Joker” sengaja merekam seorang lelaki yang hanya terdiri dari tulang belulang –Phoenix meluruhkan 24 kilogram tubuhnya hingga kita bisa melihat betapa kurusnya tubuhnya – dan kesengsaraan batin. Seorang lelaki yang hanya bisa bermimpi tampil bersama komedian pujaannya di televisi Murray Franklin, atau bisa intim dengan perempuan cantic di pojok lorong apartemen. Fantasi pribadi itu semua ditambah lagi setelah dia menemukan tentang masa lalu ibunya yang menyedihkan. Dan upaya pengejaran masa lalu itupun ditautkan pada pertemuan Joker dengan keluarga Wayne, yang mempunyai putera si kecil Bruce Wayne – yang kelak kita kenal sebagai Batman.

 

            Tentu,tentu, Batman tak penting. Bahkan Bruce pun tak terlalu penting. Tetapi jagat ini tetap penting dijaga, meski kini kita sibuk dengan perasaan sendiri apakah kita harus berempati pada Arthur dan ngeri pada Joker atau kita dengan mudah menyalah-nyalahkan masyarakat dan pejabat korup saja? Todd Phillips tampak sengaja membuat sosok Joker sebagai bangunan baru, sosok baru,  hingga tak mudah buat kita untuk membandingkannya dengan penampilan Jack Nicholson atau Heath Ledger. Sudah tak mungkin lagi kita menengok ke belakang atau mencari-cari jejak mereka, karena Joaquin Phoenix di dalam film ini mencipta ulang sosok Joker sebagai tokoh yang luar biasa kompleks.

 

            Kecerdasan Phillips untuk membuat homage pada film “The King of Comedy (Martin Scorsese, 1983), yang juga menampilkan Robert de Niro justru pada posisi seseorang yang obsesif ingin menjadi pelawak. Dalam film “Joker” justru Robert de Niro berperan sebagai Host acara yang menyebalkan dan dengan gayanya menghina Arthur.

            Film yang gelap dan mengulik sisi paling kelam dari manusia ini bukan sebuah film hiburan ringan ; ini justru antithesis dari segala yang sudah dijejali DC apalagi Marvel. Di dalam jagat Joker ciptaan Todd Phillips, mereka yang miskin, buruk rupa dan marjinal akan tetap menjadi orang-orang kalah. Dan para orang-orang kaya, pejabat korup dan semacamnya yang jahat-jahat itu adalah penguasa dunia.

 

            Sungguh kelam. Sungguh nyata. Dan sungguh relevan.

 

 

Leila S.Chudori

 

 

Leila S. Chudori

Kontributor Tempo, menulis novel, cerita pendek, dan ulasan film.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus