Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRISIS politik yang tengah melanda Rusia, kalau pun kini kelihatan telah melampaui titik kulminasinya dan mulai mereda, merupakan puncak konfrontasi dua kubu utama dalam arena politik di Rusia sejak Uni Soviet bubar. Dua kubu itu: Presiden Boris Yeltsin dan para pendukungnya di satu pihak, dan Wakil Presiden Alexander Rutskoi yang didukung oleh Ketua Parlemen Khasbulatov dan mayoritas anggota Parlemen yang sering digambarkan sebagai ''konservatif'' atau ''komunis garis keras'' di pihak lain. Konfrontasi itu mencapai puncaknya dengan suatu showdown: Yeltsin membubarkan (lebih tepat mungkin membekukan) Parlemen yang dianggapnya selama ini menghambat kebijakan pembaruannya. Dan Parlemen membalas, memecat Yeltsin serta mengangkat Rutskoi sebagai gantinya. Krisis politik itu merupakan bagian dari proses menuju kehidupan demokrasi yang lebih mantap dan mapan. Dan proses demokratisasi itu sendiri pada gilirannya merupakan satu sisi dari gerak pembaruan, dengan pembaruan ekonomi menuju sistem pasar bebas sebagai sisi yang lain. Tapi kiranya keliru menafsirkan konfrontasi antara Yeltsin dan Parlemen itu sebagai pertanda masih kuatnya dan pertanda ''bangkit kembali''-nya komunisme. Sebagian besar dari mereka, kalau tidak malah semua, termasuk Yeltsin, sekurang-kurangnya adalah orang-orang bekas anggota dan pemimpin partai komunis, kalau itu yang dimaksudkan sebagai ''orang komunis''. Tetapi bukan itu isu yang pokok. Bukan pula pembaruan per se. Yang menjadi bone of contention adalah derap atau laju pembaruan. Yeltsin dianggap terlalu drastis, radikal, bahkan revolusioner. Ini telah menimbulkan gejolak, kegelisahan, dan ketidakpastian dalam masyarakat, dialokasi dalam kehidupan perekonomian, dan beban sangat berat bagi hidup rakyat. Sebaliknya, lawan-lawan politik Yeltsin tampaknya menghendaki pembaruan yang bertahap, yang lebih aman. Tentu saja, dalam situasi seperti itu akan terjadi perebutan kekuasaan sebagai manifestasinya jika perbedaan pendapat itu menjadi begitu tajam hingga menimbulkan polarisasi yang tajam pula. Itulah hakikat krisis politik yang melanda Rusia. Saling tuduh, Yeltsin dituduh sebagai ''diktator'' dan lawan- lawannya sebagai fasis, tidak usah dianggap banyak artinya. Begitu pula tuduhan ''tidak konstitusional'' tidak relevan. Tindakan kedua belah pihak akhirnya sama-sama tidak mempunyai landasan konstitusional. Tapi jelas, tanpa adanya mekanisme demokrasi yang cukup mantap dan mapan serta tradisi demokrasi yang kuat, pemecahan atas stalemate sebagai akibat saling pecat antara Yeltsin dan Parlemen, tidak bisa lain, bergantung pada bentuk aliansi kekuatan-kekuatan yang ada. Dalam hal ini logis jika kelompok militer dan aparat keamanan lainnya memainkan peranan yang sangat menentukan. Di situlah letak kemenangan Yeltsin yang didukung oleh kelompok itu, sekurang-kurangnya pada tahap ini, meski penggunaan kekerasan hingga menelan korban jiwa tak terelakkan. Terdengar ironis dan kontradiktif bahwa proses demokratisasi diawali atau diselingi oleh peristiwa berdarah, yang biasanya menandai suatu revolusi. Tapi ini bukan hanya terjadi di Rusia. Perjuangan Yeltsin belum selesai. Kemenangan sebenarnya, yang akan berarti juga kemenangan kebijakan pembaruannya, akan ditentukan lebih lanjut dalam pemilu untuk memilih parlemen, yang pelaksanaannya dijanjikan oleh Yeltsin dalam bulan Desember nanti. Dan yang lebih penting bagi masa depan Yeltsin adalah pemilu berikutnya, pemilu untuk memilih presiden. Sebenarnya, pembubaran parlemen oleh pihak eksekutif merupakan sesuatu yang wajar dalam sistem demokrasi, asal diikuti pemilu dalam kurun waktu tertentu yang tidak terlalu lama. Pemilu seperti itu sering disebut sebagai snap election, untuk menguji pihak mana sebenarnya yang memperoleh dukungan rakyat. Setelah pemilu sebelumnya, mungkin pendapat rakyat telah berubah. Namun, hal itu biasanya terjadi dalam sistem parlementer, bukan sistem presidensiil. Inilah yang membuat tindakan Yeltsin kelihatan unik. Meskipun demikian, ini dapat dimengerti mengingat belum disusunnya konstitusi baru pasca-Soviet. Pengalaman-pengalaman awal dalam eksperimentasi demokrasi selama beberapa tahun ini akan berharga dalam pengembangan demokrasi di Rusia di hari-hari mendatang. Pengalaman- pengalaman itu mungkin akan penting juga bagi penyusunan konstitusi baru. Satu faktor yang akan berperan pula baik dalam proses itu maupun proses pembaruan lebih lanjut di Rusia adalah dukungan dan bantuan Barat. Selama ini secara konsisten negara-negara Barat mendukung Yeltsin. Dia adalah tokoh atau pemimpin Rusia yang paling jelas dan konsisten komitmennya pada pembaruan. Pemimpin alternatif dengan komitmen yang serupa belum kelihatan muncul, dan masih sulit ditemukan. Belum berkembangnya sistem dan tradisi demokrasi yang mantap tak memberi peluang bagi dipersiapkannya (grooming) alternatif kepemimpinan. Tetapi dukungan Barat itu harus diterjemahkan dalam bentuk- bentuk bantuan ekonomi yang nyata, besar jumlahnya, dan segera diwujudkan. Jika tidak, pembaruan di Rusia tak mustahil akan berbalik arah. Yeltsin dan rakyat Rusia telah membayar harga yang tinggi untuk itu. Ini harus sepadan dengan buahnya. *)Penulis adalah pengamat masalah bekas Uni Soviet
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo