Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Inovasi Pembiayaan Restorasi Lahan Gambut

Restorasi lahan gambut tidak akan berkelanjutan bila tak ada pembiayaan yang berlanjut. Perlu mencari alternatif pembiayaan.

31 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Restorasi lahan gambut harus dilakukan karena punya dampak lingkungan dan ekonomi.

  • Pemerintah hanya mampu menggelontorkan sekitar 5 persen dari biaya restorasi.

  • Alternatif pembiayaan dengan transfer fiskal berbasis ekologi dari pemerintah pusat ke daerah.

Wiko Saputra
Pendiri Kuala Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Degradasi lahan gambut di Indonesia mengkhawatirkan. Sekitar 20 persen dari total 13,3 juta hektare lahan ini telah rusak parah. Kerusakan lingkungan itu tak hanya berimplikasi buruk bagi negeri ini, tapi juga bagi dunia, karena 36 persen bentangan lahan gambut dunia ada di sini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyelamatan lahan gambut harus segera dilakukan. Kerusakannya tak hanya berimplikasi pada terganggu ekosistem lingkungan hidup, tapi juga mempengaruhi penghidupan masyarakat di sekitar lahan tersebut.

Jutaan warga masih mengantungkan hidup dari lahan gambut. Di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, lahan gambut sudah lama dimanfaatkan oleh penduduk lokal sebagai sumber mata pencarian. Mereka memanfaatkan lahan ini untuk bercocok tanam, beternak, serta menangkap dan membudidayakan ikan. Lewat kearifan lokal, mereka menjaga dan memanfaatkan lahan gambut untuk keberlanjutan penghidupannya.

Eksploitasi yang masif oleh perusahaan sawit, kayu, dan tambang telah menyebabkan lahan ini rusak. Lahan yang seharusnya dilindungi justru diberi izin untuk dieksploitasi. Lahan basah ini telah mengering dan berisiko tinggi memicu kebakaran.

Upaya merestorasi lahan gambut telah dilakukan, tapi kegiatan ini tidaklah mudah. Kendala utamanya adalah pembiayaan. Untuk merestorasi gambut, dibutuhkan biaya sebesar Rp 66,7 triliun. Tentu semuanya tak bisa disediakan melalui pendanaan dari pemerintah. Dana pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya sanggup membiayai kurang dari 5 persen.

Berbagai cara telah dilakukan untuk mencari sumber pembiayaan alternatif. Tapi kebanyakan pembiayaan yang ada hanya bersifat jangka pendek dan berbasis program. Risikonya, ketika programnya selesai, selesai juga pembiayaan dan kegiatan restorasinya.

Restorasi lahan gambut membutuhkan sumber pembiayaan yang berkelanjutan. Selain itu, kegiatan ini butuh aneka sumber agar bisa menutupi kesenjangan dalam pembiayaan. Karena itu, pemerintah perlu melakukan inovasi dalam dana perbaikan lingkungan ini.

Ada tiga inovasi pembiayaan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, pembiayaan lewat mekanisme transfer fiskal berbasis ekologi (EFT). Kebijakan fiskal ini sangat relevan dilaksanakan karena sistem penganggaran kita menganut pendekatan desentralisasi fiskal. Roh dari desentralisasi fiskal adalah transfer fiskal antar-pemerintah (pusat ke daerah dan provinsi ke kabupaten/kota).

Saat ini, belum ada mekanisme transfer fiskal berbasis ekologi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga kapasitas pembiayaan untuk ekologi, termasuk lahan gambut, sangat minim. Padahal, dalam desentralisasi, pemerintah daerah berperan besar dalam tata kelola lahan gambut. Karena itu, pemerintah perlu segera merancang skema transfer fiskal berbasis ekologi yang bisa secara spesifik membiayai restorasi lahan gambut di level pemerintah daerah.

Kedua, pembiayaan lewat mekanisme pasar karbon. Potensi perdagangan karbon di Indonesia sangat besar, tapi potensi ini belum digarap secara optimal dalam membiayai kegiatan-kegiatan ekologi, termasuk pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan.

Banyak kesatuan hidrologi gambut (KHG) yang bisa dikelola untuk masuk ke dalam pasar karbon, seperti KHG Kahayan-Sebangau. Tapi mereka terbentur persoalan regulasi yang belum selesai di tingkat pemerintah pusat. Meski sudah ada Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, regulasi ini belum terlaksana. Banyak sekali hambatan teknis yang perlu diselesaikan di level kementerian teknis agar kebijakan ini bisa berjalan, seperti kelembagaan, sistem tata kelola, dan mekanisme perhitungan nilai ekonomi karbon. Tentu kendala teknis ini harus segera diatasi agar potensi pembiayaan yang besar ini bisa dioptimalkan, terutama untuk lahan gambut.

Ketiga, pembiayaan melalui dana lingkungan hidup (enviromental fund) yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Potensi dana ini besar karena skemanya bisa lewat pembiayaan campuran antara dana publik, dana hibah, dan dana swasta. Meski demikian, belum ada skim pembiayaan yang spesifik pada lahan gambut. Untuk itu, BPDLH perlu mengembangkan skema pembiayaan yang menyasar pada kegiatan-kegiatan restorasi gambut, terutama yang sifatnya menggerakkan ekonomi berkelanjutan.

Jika tiga inovasi pembiayaan ini bisa dioptimalkan oleh pemerintah, kita memiliki harapan bahwa lahan gambut akan terkelola dengan baik. Tidak hanya memberikan kontribusi bagi keseimbangan ekosistem lingkungan hidup, gambut juga akan memberi manfaat ekonomi sebagai sumber penghidupan masyarakat.

 


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus