Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Jalan Lurus Menindak Teroris

Rencana revisi Undang-Undang Terorisme berpotensi melanggar hak asasi manusia. Payung hukum yang ada sudah memadai.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMUNITAS internasional mengakui prestasi Indonesia dalam memerangi terorisme. Aparat penegak hukum kita tak memakai beleid keamanan internal yang rawan disalahgunakan. Untuk menjebloskan para tersangka teroris pun, tak perlu penjara superketat ala Bagram dan Guantanamo. Tak ada pula penyiksaan dan pelecehan seperti kerap dilakukan badan intelijen Amerika Serikat, CIA.

Pengadilan untuk para tersangka teroris juga dilakukan secara transparan. Ratusan pelakunya bisa dibui meski hanya berbekal Undang-Undang Terorisme dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pertengahan Juni lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum 15 tahun penjara Abu Bakar Ba'asyir, imam Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, lantaran membiayai pelatihan militer sejumlah teroris di Aceh.

Prosedur dan pola penanganan terorisme yang sudah terbukti mumpuni ini seharusnya tetap dipertahankan. Dengan kata lain, tak ada urgensinya bagi pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebuah tim khusus di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang bekerja keras mengkaji pasal-pasal mana saja yang perlu diubah dan diperbaiki.

Untuk mengefektifkan operasi kontraterorisme, tak usahlah merevisi peraturan yang ada. Apalagi jika draf revisi yang dipersiapkan berpotensi mengorbankan hak asasi manusia. Jika niat ini diteruskan, kredibilitas upaya pemberantasan terorisme yang sejauh ini dirintis dengan susah payah bisa perlahan rontok. Program deradikalisasi yang giat dijalankan ternyata cuma pemanis bibir.

Pemerintah memang menghadapi dilema dalam menangani terorisme. Di satu sisi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ingin punya payung hukum yang lebih "bergigi" untuk memberantas kejahatan ini. Demi menangkal serangan teror sejak dini, Detasemen Khusus 88—ujung tombak penindakan terorisme di lapangan—hendak membersihkan jejaring pelaku teror sampai ke akar-akarnya.

Karena itulah, dalam revisi yang diusulkan pemerintah, definisi pelaku teror diperluas. Dari pedagang bahan kimia yang dipergunakan sebagai materi pembuat bom sampai seseorang yang tahu akan ada aksi teror tapi tidak melapor, semuanya bisa dipidana 7-15 tahun penjara. Ini akan berisiko menyeret seseorang ke meja hijau meski tak punya kaitan langsung dengan terorisme. Masa penahanan tersangka pelaku terorisme yang diperpanjang menjadi 30 hari tentu rawan disalahgunakan.

Setiap usul perubahan peraturan tentu punya konsekuensi yang tak ringan. Jangan sampai akuntabilitas operasi penanganan terorisme hilang. Maka harus dipastikan perang melawan teror tidak menjadi teror baru bagi khalayak. Operasi kontraterorisme tidak memberangus kebebasan berekspresi, tidak merampas hak seseorang untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. Pendek kata, langkah ini dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak mendasar lainnya.

Jangan sampai kita terperosok pada lubang kesalahan yang dibuat Amerika Serikat di era Presiden George W. Bush. Di sana, upaya pemberantasan teror justru mengancam hak asasi warganya. Operasi intelijen berlebihan dan penahanan pelaku teror tanpa pengadilan, selain melanggar asas keadilan, membuat gerakan kontraterorisme lambat laun kehilangan dukungan publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus