Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jojo
Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi Pertanian IPB University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan izin impor 50 ribu ton daging sapi Brasil sepanjang 2019 kepada tiga perusahaan pelat merah. Sebagian kalangan menilai kebijakan tersebut justru akan menghambat upaya mewujudkan pencapaian program swasembada daging sapi pada 2026.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daging sapi merupakan sumber protein hewani krusial bagi masyarakat. Ia penyumbang terbesar kedua (15,5 persen) setelah daging ayam terhadap konsumsi daging nasional. Jumlahnya diperkirakan terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, kenaikan pendapatan, dan kesadaran gizi seimbang masyarakat.
Populasi sapi nasional terus bertumbuh. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 mencatat, selama lima tahun terakhir populasi sapi potong menunjukkan kenaikan pertumbuhan rata-rata 1,54 persen per tahun. Namun peningkatan tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan domestik. Menurut hasil kajian Bustanul Arifin, konsumsi daging sapi mengalami pertumbuhan sebesar 8,10 persen per tahun. Pertumbuhan di daerah urban sekitar 2,91 persen, tapi laju pertumbuhan di daerah pedesaan lebih pesat, sebesar 10,7 persen.
Ketidakseimbangan produksi dan permintaan menyebabkan peningkatan harga mencapai Rp 115.780 pada 2017, dari Rp 66.329 pada 2010. Untuk memenuhi kekurangan itu, pemerintah mengimpor daging dan sapi bakalan sekaligus penyeimbang pasar ketika terjadi gejolak harga. Pada 2010-2017, volume impor daging dan sapi bakalan mengalami pertumbuhan masing-masing 73,46 ribu ton atau 6,2 persen dan 168,15 ton atau sekitar 18,05 persen (UN Comtrade, 2018). Peningkatan volume impor tersebut menyebabkan defisit neraca perdagangan meningkat sebesar 115,78 ribu ton (2017) dari 90,51 ribu ton (2010).
Guna mengatasi masalah tersebut, program swasembada daging digulirkan. Namun, setelah lebih dari 10 tahun, program tersebut masih jalan di tempat.
Secara agregat, Indonesia merupakan negara net importer produk peternakan dan cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan kajian BPS, proyeksi kebutuhan daging sapi nasional pada 2019 sebesar 2,56 kilogram per kapita per tahun. Artinya, total kebutuhan daging sapi pada 2019 sekitar 686.270 ton. Proyeksi produksi daging sapi dalam negeri pada tahun ini adalah 429.412 ton. Jadi, ada defisit 256.858 ton yang hendak diimpor.
Untuk mencapai swasembada daging sapi, pada 2016 digulirkan program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab) dengan anggaran Rp 1,41 triliun. Data Kementerian Pertanian menyebut, selama 2017-2018, program ini menghasilkan 2.743.902 ekor sapi.
Dampak program ini belum terlihat signifikan terhadap impor daging. Pada 2018, pemerintah mengimpor 30.679 ton daging. Ini terdiri atas 18.417 ton sapi bakalan, yang setara dengan 91.543 ekor sapi, serta 12.262 ton daging sapi dan kerbau yang setara dengan 62.623 ekor. Bahkan di sepanjang 2019, kuota impor naik menjadi 50 ribu ton sapi Brasil.
Selain berpotensi kebanjiran daging sapi Brasil, pasar domestik berpotensi diserbu daging Australia. Negeri Kanguru merupakan pemasok utama daging Indonesia (53 persen). Perjanjian dagang Indonesia dan Australia (IA-CEPA) yang ditandatangani pada 4 Maret 2019 ditargetkan berlaku pada 2020. Kesepakatan tersebut berpotensi merugikan peternakan lokal. Selain akan menghambat pengembangan swasembada daging sapi, kesepakatan itu membuat ketergantungan akan impor semakin tinggi.
Presiden Federasi Petani Nasional Australia (NFF) Fiona Simson mengatakan kesepakatan itu akan meningkatkan kuota ekspor sapi bakalan Australia ke Indonesia secara signifikan: sekitar 575 ribu ekor sapi pejantan per tahun dengan bea masuk nol persen. Jumlahnya dapat meningkat 4 persen setiap tahun hingga 700 ribu ekor.
Eksportir sapi hidup jantan Australia akan menikmati tarif bebas bea dari tarif 5 persen selama ini. Adapun tarif ekspor daging sapi beku dan domba masing-masing 2,5 persen untuk volume tak terbatas dan selanjutnya akan mendapat tarif bebas bea setelah lima tahun.
Pada 2017, Indonesia mengimpor sapi bakalan dan indukan dari Australia mencapai 205.973 ton. Bisa dibayangkan dampaknya bagi peternak lokal kita bila perjanjian tersebut diberlakukan karena penyedia daging sapi dalam negeri saat ini (sekitar 98 persen) berasal dari peternakan rakyat, yakni sekitar 4 juta rumah tangga peternak yang rata-rata memelihara dua ekor sapi.
Bila tidak diantisipasi, kebijakan pengembangan peternakan dalam negeri tambah babak belur. Gurihnya impor daging hanya menyuburkan para pemburu rente.
Ada beberapa faktor penyebab belum tercapainya swasembada daging. Pertama, tidak optimalnya dukungan dana bagi pengembangan ternak lokal unggulan. Maka, pemerintah harus mempermudah akses permodalan inklusif dan memberikan insentif kepada peternak lokal supaya muncul kegairahan beternak. Bila sisi produksi ini gagal dibenahi, target swasembada daging 2026 hanyalah ilusi.
Kedua, menyusun neraca kebutuhan daging secara akurat guna memastikan ketersediaan dan kebutuhan untuk mengelola pasokan/distribusi dalam meredam gejolak harga.
Ketiga, Kementerian Perdagangan perlu mengoptimalkan pengawasan distribusi daging impor dan perlu mengintervensi untuk mengendalikan harga, tidak menyandarkan pada mekanisme pasar belaka.
Keempat, Kementerian Pertanian perlu membuat grand design kebijakan komprehensif tentang peternakan nasional. Swasembada harus dipandang sebagai target pemerintah secara keseluruhan, bukan sekadar target kementerian/lembaga tertentu, sehingga semua pihak terkait bersinergi menggapainya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo