Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Jalan Tengah Impor Tembakau

Demi melindungi petani, pemerintah berencana membatasi impor tembakau. Sejumlah bahan baku belum banyak diproduksi di dalam negeri.

2 Maret 2018 | 06.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah tidak perlu gegabah menerapkan aturan pembatasan impor tembakau. Regulasi perdagangan yang tengah menjadi polemik itu justru bisa membuat industri hasil tembakau dalam negeri sempoyongan. Terpukulnya industri nasional pada akhirnya menggerus terserapnya tembakau lokal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengetatan impor tembakau melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2017 akan membuat industri rokok kesulitan pasokan. Apalagi aturan itu membatasi masuknya sejumlah tembakau yang belum banyak diproduksi petani dalam negeri. Salah satunya tembakau Virginia, yang luas lahannya baru 14 persen dari total lahan pertanian tembakau di Indonesia. Keterbatasan bahan baku akan menurunkan laju produksi hasil tembakau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penurunan industri hasil tembakau bisa memangkas penerimaan negara. Padahal industri rokok masih menjadi sumber pemasukan terbesar ketiga di negeri ini. Dua tahun lalu, penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp 137,9 triliun. Ditambah pajak rokok dan pajak pertambahan nilai, kontribusi industri hasil tembakau terhadap penerimaan negara menyentuh Rp 176,3 triliun.

Ikhtiar pemerintah melindungi petani tembakau tentu layak disokong. Apalagi upaya ini ditempuh agar produksi tembakau lokal dapat terserap dengan optimal. Namun pembatasan impor sebaiknya berlaku hanya untuk varietas tembakau yang bisa diproduksi di dalam negeri-bukan pukul rata untuk semua jenis tembakau. Apalagi ada satu jenis tembakau yang sama sekali tidak bisa diproduksi di sini.

Itu sebabnya pemerintah seyogianya melakukan perhitungan matang. Salah satu hal yang harus menjadi pijakan adalah keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Faktanya, petani lokal hanya mampu memproduksi tembakau sekitar 200 ribu ton per tahun. Angka ini jauh di bawah kebutuhan industri, yang rata-rata mencapai 350 ribu ton, sehingga impor menjadi satu-satunya pilihan.

Pembatasan impor bukan satu-satunya cara untuk memproteksi petani. Agar petani lebih sejahtera, pemerintah sebaiknya memangkas mata rantai tata niaga tembakau, yang masih terlalu panjang. Salah satu caranya mendorong semua pabrik rokok membangun program kemitraan dengan petani. Mata rantai yang pendek jauh lebih mendesak agar industri bisa menyerap tembakau langsung dari petani.

Hingga pekan lalu, Kementerian Koordinator Perekonomian memang masih menunda pemberlakuan aturan main impor tembakau. Jika pada akhirnya aturan itu diterapkan, pemerintah harus sadar bahwa regulasi perdagangan tersebut mengandung kemungkinan moral hazard. Itu sebabnya pemerintah harus menegakkan transparansi di semua lini-termasuk mendorong mekanisme impor yang adil untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha.

Pemerintah mesti mengawasi seluruh kegiatan pembatasan impor. Proses terbuka dengan persyaratan ketat ini untuk mencegah permainan segelintir orang mengeruk keuntungan. Dengan memiliki akses terhadap informasi dan kekuasaan, para pencari rente kerap menunggangi kekacauan dan keruwetan pengaturan impor. Mereka berkolusi dengan penyelenggara negara yang memperdagangkan pengaruh dan kekuasaan. Padahal kebijakan pemerintah seharusnya berpihak pada kemaslahatan banyak orang.

Di tengah polemik ini, pemerintah harus tampil sebagai wasit yang adil. Sudah semestinya pemerintah mengambil kebijakan yang memberikan manfaat tidak hanya bagi petani, tapi juga bagi industri dalam negeri.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus