Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Jangan Ada Lumpur Lagi

Sudah tepat keputusan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menghentikan operasi Lapindo Brantas Inc. di sumur Tanggulangin I. Sangat berisiko membiarkan perusahaan ini menjalankan niatnya mengambil gas di lokasi dekat pusat semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo.

10 Januari 2016 | 22.15 WIB

Jangan Ada Lumpur Lagi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sudah tepat keputusan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menghentikan operasi Lapindo Brantas Inc. di sumur Tanggulangin I. Sangat berisiko membiarkan perusahaan ini menjalankan niatnya mengambil gas di lokasi dekat pusat semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo.

Lapindo memulai persiapan mengebor sumur Tanggulangin 1 di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Rabu pekan lalu. Alasannya, SKK Migas meminta perusahaan itu meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan gas di Jawa Timur. Kelak, sumur tersebut menghasilkan 5 juta kaki kubik gas setiap hari. Ditambah produksi dari 30 sumur lain milik Lapindo yang sudah beroperasi di Sidoarjo, total setiap hari perusahaan bisa memasok 8 juta kaki kubik gas.

Masalahnya, Lapindo memiliki rekam jejak buruk di Sidoarjo. Kecerobohan Lapindo dalam pengeboran sumur minyak di Banjar Panji 1, menurut sejumlah ahli, merupakan penyebab muncratnya lumpur yang kemudian menenggelamkan ribuan rumah di Porong. Sumur Tanggulangin 1 hanya sekitar 2 kilometer dari Banjar Panji. Di sekitarnya ada Desa Kedungbanteng dan Banjar Asri, yang cukup padat dan merupakan area industri. Masuk akal jika banyak pihak waswas bencana serupa bisa terjadi lagi.

Kerugian akibat bencana lumpur Lapindo memang luar biasa. Menurut Badan Pemeriksa Keuangan, angka kerugian mencapai Rp 32,9 triliun. Itu belum termasuk dampak dari hilangnya daerah hunian dan tercerabutnya masyarakat dari tanah leluhurnya. Kerugian sosial itu tak terukur dengan uang.

Pihak Lapindo mengklaim sudah melakukan sosialisasi kepada warga setempat. Mereka juga berjanji memberikan ganti rugi jika terjadi hal-hal di luar perkiraan. Janji ini lagi-lagi sulit dipercaya. Sebab, sampai sekarang, sembilan tahun sejak bencana lumpur Lapindo, proses ganti rugi yang ditangani PT Minarak Lapindo Jaya belum juga rampung. Pemerintah sendiri sebelumnya sudah memberikan dana talangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 781 miliar.

Karena itu, amat mengherankan jika Wakil Presiden Jusuf Kalla membela rencana perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie tersebut untuk mengebor lagi di dekat Porong. Wakil Presiden terlalu menganggap enteng risiko yang mungkin muncul. Kalau alasannya soal pendapatan untuk membayar utang kepada negara, pertanyaannya: kenapa tidak meminta Lapindo mencari tempat lain yang jauh dari lokasi bencana, jauh dari permukiman dan area industri?

Sekarang keputusan berada di tangan pemerintah. Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja, mengatakan akan mereevaluasi keamanan, aspek geologi, maupun aspek sosial ladang baru tersebut. Kita tunggu hasilnya. Bagaimanapun, pemerintah wajib melindungi masyarakat dari kemungkinan bencana lumpur itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus