Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Jangan Hanya Berhenti di Sambo

Apabila Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang serius mengungkap kasus Brigadir Yosua hingga terang-benderang, perkara perintangan penyidikan ini harus sekalian diusut tuntas.

29 Agustus 2022 | 10.45 WIB

Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo keluar ruangan usai mengikuti sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) di Gedung Transnational Crime Center (TNCC) Divisi Propam Mabes Polri, Jakarta, Jumat dini hari, 26 Agustus 2022. Sidang Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) memutuskan memberhentikan tidak dengan hormat Irjen Ferdy Sambo karena melanggar kode etik kepolisian. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Perbesar
Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo keluar ruangan usai mengikuti sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) di Gedung Transnational Crime Center (TNCC) Divisi Propam Mabes Polri, Jakarta, Jumat dini hari, 26 Agustus 2022. Sidang Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) memutuskan memberhentikan tidak dengan hormat Irjen Ferdy Sambo karena melanggar kode etik kepolisian. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Editorial Tempo

---

Tim Khusus Polri harus mempercepat pengusutan keterlibatan para perwira polisi yang merintangi penyidikan kasus pembunuhan Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua. Tim yang dipimpin Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono ini perlu segera mengumumkan nama enam perwira polisi yang diduga melakukan obstruction of justice sebagai tersangka.

Keenam perwira tersebut adalah Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan, Komisaris Besar Agus Nurpatria, Ajun Komisaris Besar Arif Rahman Arifin, Komisaris Baiquni Wibowo, dan Komisaris Chuk Putranto. Ferdy sebelumnya telah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dan diduga mendalangi pembunuhan Brigadir Yosua. Ia bersama istrinya, Putri Candrawathi, Bhayangkara Dua Richard Eliezer, Brigadir Kepala Ricky Rizal, dan Kuat Maruf dijerat pasal pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Gelagat polisi berusaha menutupi kasus ini sudah tampak dari awal. Tak heran bila kasus pembunuhan Brigadir Yosua berbuntut panjang dan meluas. Selain berujung pemecatan Ferdy sebagai anggota Polri, sedikitnya 97 polisi diperiksa Inspektorat Khusus karena dianggap tidak profesional dalam menangani kasus ini. Dari jumlah itu, sebanyak 35 personel dinyatakan melanggar kode etik profesi dan 18 personel di antaranya telah ditahan di tempat khusus di Provos Mabes Polri dan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Adapun enam perwira di antaranya diduga menghalangi penyidikan kasus pembunuhan Yosua.

Pelanggaran keenam perwira polisi itu terbilang berat. Ferdy Sambo, misalnya, diduga menjadi otak pembunuhan Brigadir Yosua dan merekayasa kasus seolah terjadi tembak-menembak. Ferdy pula yang memerintahkan kaki tangannya untuk mengambil kamera pengawas di tempat kejadian perkara di rumah dinasnya di daerah Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang menjadi bukti vital kasus ini.

Hendra Kurniawan, bekas tangan kanan Ferdy, termasuk orang pertama yang mendatangi lokasi pembunuhan atas permintaan bosnya. Ia diduga memerintahkan anak buahnya untuk mengambil dan mengganti perangkat penyimpanan rekaman video (DVR) pada kamera pengawas di komplek rumah dinas Ferdy. Hendra juga salah satu orang yang menghalangi keluarga Brigadir Yosua untuk membuka peti jenazah almarhum saat dipulangkan untuk dimakamkan di Jambi.

Agus Nurpatria, selaku anak buah Hendra, diduga menerima perintah dari atasannya untuk mencopot dan mengganti DVR kamera pengawas yang terpasang di pos pengamanan komplek Duren Tiga dengan DVR kamera pengawas baru. Baiquni Wibowo dan Chuk Putranto ditengarai ikut terlibat dalam penghilangan DVR kamera pengawas terkait peristiwa pembunuhan Yosua.

Adapun Arif Rahman Arifin diduga berperan memerintahkan penyidik Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatanpihak yang pertama mengusut kasus kematian Brigadir Yosuauntuk membuat berita acara pemeriksaan tiga saksi mengikuti arahan Agus Nurpatria. Semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dari skenario rekayasa tewasnya Brigadir Yosua yang didalangi Ferdy Sambo.

Dengan peran yang tidak main-main, keenam perwira itu tak cukup hanya dijatuhi sanksi etik. Mereka telah melanggar Pasal 52 dan 233 KUHP, yakni menggunakan jabatannya untuk melakukan tindak pidana dan menghilangkan barang bukti. Karena itu, sudah selayaknya bila keenam perwira itu dijatuhi sanksi pidana.

Apabila Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang serius mengungkap kasus Brigadir Yosua hingga terang-benderang, perkara perintangan penyidikan ini harus sekalian diusut tuntas. Menunda pengumuman nama para tersangka bisa menimbulkan syak wasangka adanya negosiasi dengan para pelaku.

Selain berkelindan dengan pengungkapan kasus Brigadir Yosua, pengusutan terhadap para pelaku perintangan penyidikan juga menjadi momentum untuk bersih-bersih. Jangan sampai kepercayaan masyarakat yang sudah rontokakibat skandal Ferdy Sambo semakin ambyar bila polisi tidak serius membenahi institusi Polri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yandhrie Arvian

Yandhrie Arvian

Alumni Teknik Fisika ITB dan Crawford School of Public Policy, Australian National University (ANU). Menerima Mochtar Lubis Award 2011 dan Adiwarta Award 2014 untuk liputan Investigasi. Mengikuti program Jefferson Fellowship 2009 dan Economic & Financial Reporting yang diselenggarakan the International Institute for Journalism (Berlin) 2011. Menjadi Redaktur Eksekutif sejak 2021.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus