Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Jangan Kembali ke Orde Baru

Setahap demi setahap tentara terkesan hendak kembali mengatur persoalan masyarakat sipil. Nota kesepahaman yang diteken Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian dan Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto semakin menguatkan kecenderungan itu.

6 Februari 2018 | 06.30 WIB

Pangkostrad Mayjen Soeharto memberikan komando via RRI dalam penumpasan Gestapu. Foto: Buku Kostrad, Sejarah dan Pengabdiannya
Perbesar
Pangkostrad Mayjen Soeharto memberikan komando via RRI dalam penumpasan Gestapu. Foto: Buku Kostrad, Sejarah dan Pengabdiannya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Setahap demi setahap tentara terkesan hendak kembali mengatur persoalan masyarakat sipil. Nota kesepahaman yang diteken Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian dan Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto semakin menguatkan kecenderungan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo


Perjanjian enam lembar bertajuk "Perbantuan Tentara Nasional Indonesia pada Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat" tertanggal 23 Januari 2018 itu, antara lain, menyebutkan perbantuan tentara dalam menangani unjuk rasa, mogok kerja, kerusuhan, dan konflik sosial. TNI juga dilibatkan untuk "menjaga kegiatan masyarakat dan pemerintah yang rawan ricuh".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Butir perjanjian pemimpin kedua institusi bersenjata itu mengancam kebebasan menyampaikan pendapat, yang membolehkan adanya unjuk rasa dan mogok kerja. Poin yang sama juga menyalahi prinsip pemisahan fungsi TNI dan Polri. Konstitusi memberi kewenangan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat kepada kepolisian. Sedangkan militer bertugas mempertahankan kedaulatan negara dari serangan luar.


Undang-Undang TNI pun jelas menyebutkan, tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, serta melindungi bangsa. Pemisahan kedua institusi itu merupakan salah satu hasil terpenting dari reformasi 1998. Aturan yang jelas tersebut semestinya tidak ditafsirkan seenaknya dengan nota kesepahaman antara Panglima TNI dan Kepala Polri, yang tidak memiliki kekuatan hukum.


Keterlibatan tentara dalam urusan sipil telah meruntuhkan kehidupan demokrasi sepanjang Orde Baru. Dengan konsep Dwi Fungsi, militer masuk ke birokrasi, politik, dan berbagai kehidupan sipil. Hak-hak asasi manusia diberangus atas nama stabilitas. Kita semestinya tidak kembali ke zaman kegelapan itu.


Dalih bahwa kerja sama dibuat untuk mengantisipasi tiga peristiwa besar sepanjang 2018 bisa diabaikan. Kepolisian semestinya mampu mengamankan pemilihan kepala daerah serentak, perhelatan Asian Games, dan pertemuan Dana Moneter Internasional. Tentara sepatutnya berfokus pada fungsi utamanya.


Pelibatan tentara dalam operasi non-perang hanya bisa dilakukan dalam situasi darurat, misalnya dalam bencana alam besar. Pelibatan tersebut merupakan keputusan pemerintahan sipil dan hanya berlaku sementara. Nota kesepahaman jelas tidak boleh merusak pakem dan tatanan itu.


Usaha memasukkan tentara ke wilayah sipil telah berkali-kali dilakukan. Dua tahun lalu Kementerian Pertahanan dan Markas Besar TNI menyusun draf peraturan presiden yang berisi perluasan wewenang TNI. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo-pendahulu Marsekal Hadi-melibatkan tentara dalam urusan pangan melalui kerja sama dengan Menteri Pertanian. Marsekal Hadi pun mengirim surat ke Dewan Perwakilan Rakyat, meminta agar tentara dilibatkan dalam usaha pencegahan terorisme.


Presiden Joko Widodo, yang terpilih dengan dukungan luas masyarakat sipil, sebaiknya menghentikan usaha memperluas kewenangan militer ini.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus