Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANJLOKNYA rasio kecukupan dana (RKD) perusahaan-perusahaan dana pensiun badan usaha milik negara (BUMN) amat mengkhawatirkan. RKD yang rendah mencerminkan rendahnya kemampuan perusahaan membayar premi peserta. Jika tidak segera diatasi, karyawan BUMN, terutama yang akan pensiun dalam waktu dekat, terancam tak menerima haknya secara penuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seturut pantauan Kementerian BUMN saat ini, terdapat 22 perusahaan dana pensiun milik negara yang bermasalah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengidentifikasi rasio kecukupan dana mereka di bawah 100 persen. Bahkan, menurut Kementerian BUMN, empat di antaranya dalam keadaan sangat tidak sehat. Selain RKD di bawah standar tingkat imbal hasil, investasinya sangat rendah, kurang dari 4 persen. Padahal investasi di deposito dan surat berharga negara (SBN) saja saat ini bisa memberikan keuntungan 5-6 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah dana investasi umumnya muncul lantaran tidak ada transparansi dalam pengelolaannya. Manajemen yang tertutup melemahkan pengawasan dan membuka celah bagi korupsi serta penyelewengan. Jangan sampai pengalaman kelam Jiwasraya dan Asabri terulang. Kedua perusahaan yang mengelola dana pensiun BUMN dan anggota TNI/Polri itu merugi lebih dari Rp 40 triliun karena pengelolanya memain-mainkan aset serta simpanan nasabah.
Rencana Kementerian BUMN menggabungkan pengelolaan dana pensiun BUMN di bawah naungan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia atau Indonesia Financial Group (IFG) bisa menjadi alternatif penyelesaian. IFG, yang berdiri pada Maret 2020, merupakan induk perusahaan keuangan negara nonbank.
Di bawah atap IFG, besar kemungkinan pengelolaan perusahaan-perusahaan itu menjadi lebih baik dan kontrol terhadap penempatan dana atau rencana investasi juga lebih terfokus serta terkonsolidasi. Untuk investasi yang aman, misalnya, saat ini surat utang negara bisa menjadi pilihan. Di sisi lain, investasi langsung pada proyek-proyek besar atau dengan membeli obligasi korporasi memang menjanjikan margin besar, tapi berpotensi terjadi konflik kepentingan.
Tapi integrasi juga bukan berarti tanpa persoalan. Di negeri ini, pemusatan justru kerap menjadi cara mudah untuk menyelewengkan kewenangan. Jika terkumpul hanya di satu lembaga, dana yang totalnya mendekati Rp 200 triliun itu bisa menggoda siapa saja. Di sini, lagi-lagi, pengawasan merupakan isu penting.
Sebagai ilustrasi, IFG sebagai perusahaan negara berada di bawah kendali satu orang, yakni Menteri BUMN. Sedangkan menteri merupakan jabatan politis yang selalu menjadi rebutan partai-partai koalisi yang berkuasa. Dengan kondisi yang demikian, memusatkan pengelolaan dana pensiun ratusan triliun rupiah berisiko mempermudah penyelewengan melalui satu pintu.
Apa pun langkah perbaikan yang akan dipilih, Kementerian BUMN dan OJK harus bertindak cepat memastikan dana pensiun pegawai BUMN aman serta dikelola secara profesional.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo