Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUNDUNGAN di Sekolah Menengah Atas Bina Nusantara (SMA Binus) School Serpong di Tangerang Selatan, Banten, harus ditanggapi dengan serius oleh siapa pun. Pemakluman bahwa kejadian tersebut merupakan hal yang biasa terjadi di kalangan remaja bisa melanggengkan budaya kekerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agar menjadi pelajaran, tak hanya siswa yang terlibat yang perlu dijatuhi sanksi. Pihak sekolah pun perlu dimintai tanggung jawab meskipun kejadian terjadi di luar sekolah dan di luar jam pelajaran. Apalagi jika betul geng yang memelonco telah ada di sekolah itu selama bertahun-tahun. Sekolah tak bisa lepas tanggung jawab begitu saja meskipun telah menghukum para pelaku bullying.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perundungan di SMA Binus menambah panjang daftar kekerasan di kalangan siswa. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Federasi Serikat Guru Indonesia, selama 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Tapi data itu hanya didasarkan pada kasus yang dilaporkan ke polisi dan diproses hingga persidangan. Seperti pucuk gunung es, jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi bisa jadi jauh lebih banyak daripada yang terungkap ke publik.
Karena itu, perlu ada usaha sungguh-sungguh agar perundungan tak terjadi lagi di semua jenjang pendidikan. Pemerintah tak cukup hanya mengeluarkan regulasi tentang pencegahan perundungan di sekolah, yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 serta Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023. Aturan tersebut masih belum efektif—terbukti dengan masih banyaknya kasus terjadi.
Untuk memutus rantai kekerasan, pemerintah, sekolah, dan orang tua siswa harus meningkatkan kesadaran serta bersama-sama berikhtiar. Pertama-tama, siapa pun perlu memahami lebih dulu apa itu perundungan. Menurut UNICEF, badan PBB yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup anak, perundungan memiliki tiga karakteristik yang membedakannya dengan perbuatan tidak menyenangkan lainnya, yakni kesengajaan, pengulangan, dan posisi yang timpang. Karakteristik yang terakhir bisa berarti kekuatan fisik ataupun pengetahuan atas informasi sensitif atau memalukan tentang orang yang dirundung.
Relasi kuasa yang tak seimbang antara pelaku dan korban perundungan biasanya kasatmata. Dalam kasus di SMA Binus, misalnya, perpeloncoan merupakan unjuk kekuatan pelaku terhadap korbannya. Memamerkan kuasanya, pelaku melakukan kekerasan fisik dengan dalih menguji daya tahan korban. Jika terus dibiarkan, pelaku akan merasa perbuatannya wajar sehingga bisa terdorong untuk melakukan kejahatan lain.
Dari sisi korban, perundungan menimbulkan trauma yang panjang dan mengecilkan potensi korban untuk berkembang. Laporan UNESCO—badan PBB untuk pendidikan—pada 2020 menyebutkan anak korban perundungan dua kali lebih besar kemungkinannya mencoba bunuh diri. Singkatnya, perundungan di sekolah merupakan perbuatan jahat yang berdampak buruk bagi pelaku dan korbannya.
Karena itu, perundungan di sekolah tak boleh diremehkan ataupun dinormalkan, misalnya, dengan menyebutnya sebagai cara remaja bercanda dengan sesamanya. Penyangkalan hanya akan melegitimasi perundungan, membiarkan pelaku menjadi lebih jahat, dan menimbulkan lebih banyak korban.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo