Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
PEMERINTAH sebaiknya jangan bersikap birokratis dalam menangani wabah Covid-19, termasuk dalam merespons permintaan daerah yang ingin menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pengalaman sejumlah negara membuktikan bahwa PSBB lebih dini dinilai efektif dalam menekan penyebaran virus yang kini telah menelan korban lebih dari 100 ribu orang di seluruh dunia tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hingga 12 April lalu, pemerintah pusat telah menerima 15 proposal PSBB dari sejumlah pemerintah daerah. Delapan proposal yang sudah disetujui meliputi DKI Jakarta dan tujuh daerah penyangga Ibu Kota. Tujuh proposal lainnya yang belum disetujui adalah pembatasan di Mimika, Papua; Fakfak dan Sorong di Papua Barat; Palangka Raya, Kalimantan Tengah; Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur; Pekanbaru, Riau; dan Tegal, Jawa Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sejujurnya, pemerintah memang tidak mudah mengambil keputusan dengan keterbatasan data seperti yang terjadi sekarang. Pemerintah menyatakan, sampai 12 April lalu, terdapat 2.956 orang yang terinfeksi, 240 meninggal, dan 240 sembuh. Tapi data itu diyakini tidak mencerminkan gambaran yang sebenarnya. Sebab, jumlah pengujiannya masih sangat terbatas. Hingga minggu pertama April 2020, jumlah pengujian baru sekitar 14 ribu orang. Padahal populasi kita 270 juta penduduk.
Dengan keterbatasan itu, upaya terbaik yang bisa dilakukan adalah mencegah bertambahnya kasus baru dengan pembatasan sosial yang lebih progresif. Prinsip pembatasan adalah mencegah sebelum wabah meluas sehingga tidak lagi bisa ditanggung oleh sistem kesehatan kita. Jadi, sepatutnya pemerintah melakukan pembatasan sosial lebih dini, daripada nanti terpaksa mengkarantina wilayah jika kasus telanjur banyak dan meluas.
Alasan ekonomi hendaknya tidak secara berlebihan menghalangi pemerintah pusat untuk menyetujui pembatasan. Keterlambatan pemerintah mengambil langkah radikal saat awal munculnya virus corona di Tanah Air hendaknya tidak berlanjut. Dalam karantina wilayah, tanggung jawab pemerintah memang sangat besar. Di antaranya menanggung kebutuhan pokok di daerah yang dikarantina.
Saat ini kita menghadapi situasi yang tidak biasa. Standar respons kita juga hendaknya tak seperti dalam situasi normal. Sudah lama kita mendengar adanya penerapan prinsip yang salah dalam pengelolaan birokrasi: kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah. Dalam krisis kesehatan seperti ini, jika prinsip itu dilanjutkan, jutaan nyawa akan melayang.
Jadi, kalau proposal pembatasan dari daerah sudah lengkap, pemerintah pusat tidak boleh mempersulit. Toh, PSBB berbeda dengan karantina wilayah, yang menuntut tanggung jawab lebih besar dari pemerintah. Seharusnya hal itu tak lagi membuat pemerintah ragu-ragu. Selayaknya pemerintah pusat malah proaktif memetakan wilayah yang layak memberlakukan PSBB. Pemerintah pusat tidak boleh menjadi juragan yang menunggu permohonan permintaan daerah.
Sikap pemerintah pusat yang meremehkan pandemi corona pada periode awal tidak boleh diteruskan. Menteri Kesehatan harus mengoreksi diri. Ia kini menjadi penentu nasib penanganan pandemi Covid-19 di pelbagai daerah. Jika ia tak mampu mengemban mandat Presiden dalam menangani pandemi, selayaknya ia mengundurkan diri. Jika tidak, Presiden yang harus memberhentikan Terawan. Sebelum korban bertambah banyak, saatnya Presiden Jokowi mengambil langkah signifikan sebelum dia sepenuhnya kehilangan kepercayaan publik.