Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaporkan Jerinx “SID” ke polisi dan reaksi aparat hukum memproses perkara ini sungguh berlebihan. Betapa pun menjengkelkannya celotehan Jerinx, polisi semestinya tidak menangkap dan menahan penggebuk drum kelompok musik Superman is Dead ini. Apalagi sampai menetapkan dia sebagai tersangka dalam kasus ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian menerungku Jerinx di rumah tahanan Polda Bali sejak Rabu lalu. Musikus bernama I Gede Ari Astina itu ditangkap setelah menyebut IDI dan rumah sakit sebagai kacung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan menjalani tes Covid-19. Pernyataan itu ia unggah di akun Instagram miliknya. Jerinx terancam hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Ancaman hukuman itu jelas mengada-ngada. Di alam demokrasi dan kebebasan berekspresi, apa yang dilakukan Jerinx seharusnya tidak dibatasi. Biarlah pesohor anti-sains ini bicara dan berkampanye apa saja di media sosial—betapa pun absurdnya pemikiran yang ia kemukakan. Bagi sebagian masyarakat, perilakunya menjadi hiburan pada masa pandemi ini, seperti kita terhibur oleh kampenye kalung anti-Covid-19 atau bualan konyol lainnya.
Sejak awal Jerinx memang kerap memantik kontroversi. Ia percaya bahwa pandemi Covid-19 merupakan bagian dari teori konspirasi. Organisasi kedokteran tak perlu terhina, apalagi sampai repot-repot melaporkan Jerinx ke polisi. Boleh jadi ia hanya mencari perhatian dan sensasi. Mempidanakan Jerinx malah memberinya panggung.
Bagaimanapun, demokrasi menyediakan ruang bagi publik untuk menyampaikan kritik. Keberadaan orang seperti Jerinx—yang juga getol menolak reklamasi Teluk Benoa—dibutuhkan untuk melecut pemerintah dan pejabat publik agar bekerja lebih serius dalam meredam penyebaran virus. Mereka justru harus membuktikan bahwa semua ucapan Jerinx keliru, bukan malah menggunakan tangan aparat untuk membungkamnya.
Di sisi lain, kepolisian harus berhati-hati dalam menilai suatu ekspresi apakah merupakan ujaran kebencian atau bukan. Alih-alih memerangi ujaran kebencian, penangkapan Jerinx malah melanggar kebebasan berekspresi. Pasal 28 dan 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang digunakan untuk menjerat Jerinx mengatur soal perbuatan menghasut dan menyebarkan kebencian serta kekerasan dan diskriminasi. Tapi ekspresi Jerinx di akun media sosialnya sama sekali tidak mengandung permusuhan, baik kepada individu tertentu maupun kelompok masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Polisi juga keliru menjerat Jerinx dengan pasal pencemaran nama. Pasal ini hanya untuk pencemaran terhadap individu, bukan terhadap institusi ataupun badan hukum. Selain itu, pasal ini mengharuskan delik aduan absolut. Artinya, individu yang merasa namanya dicemarkan harus melaporkan sendiri dugaan perbuatan pidana tersebut. Anehnya, dalam kasus Jerinx, dia dituduh mencemarkan nama baik IDI, sebuah institusi.
Sampai di sini kita bisa menilai bahwa perkara Jerinx sama sekali tidak memenuhi unsur pencemaran nama dan ujaran kebencian. Kepolisian selayaknya tidak meneruskan penyidikan kasus ini. *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo