Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIDRAMATISASI atau tidak, dibesar-besarkan atau bukan, paling sedikit 55 orang tewas di Yahukimo, Papua, oleh bencana kelaparan. Inilah fakta definitif yang tidak bisa dilunakkan, apalagi dihapus, dengan statement macam apa pun. Fakta lain yang tak kalah menyakitkan adalah bahwa baru sebulan kemudian berita malapetaka itu sampai ke pusat pemerintahan di Jakarta.
Lalu muncullah rupa-rupa komentar, baik dari para pejabat di Jakarta maupun di Papua sendiri. Ada yang menyalahkan kondisi geografis—seolah-olah kabupaten itu baru bergabung dengan Republik Indonesia bulan kemarin. Bukankah sejak mula zaman diketahui, provinsi paling timur Nusantara itu memang sangat berbeda resam alamnya? Kalau daerah itu sulit dijangkau, terisolasi oleh hutan lebat, dan sebagainya, apakah kematian sekian orang oleh kelaparan menjadi sesuatu yang sahih belaka?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika mengetahui bencana ini, mengaku terkejut luar biasa. Presiden mengaku mengetahui bencana itu dari media massa, padahal pejabat tinggi lain menyatakan media massa hanya ”membesar-besarkan” berita itu. Presiden bertindak cepat dengan memerintahkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, terbang ke Papua.
Pulang dari Yahukimo, Aburizal membawa berita cerah. Keadaan di sana bagus, katanya. Jagung tumbuh subur, begitu pula kubis. Babinya besar-besar. Kalau begitu, memang penduduknya, barangkali, yang kurang pengetahuan akan makanan alternatif. Berita itu bertentangan dengan keterangan satu kepala suku di sana, yang menuturkan mereka sudah berbulan-bulan memakan daun ubi jalar yang dipanggang di atas batu.
Maka berulanglah cerita lama: simpang-siur pernyataan. Cuma, yang agak ajaib, tak sepatah pun pernyataan terdengar dari mulut menteri yang, konon, khusus mengurus percepatan pembangunan daerah tertinggal. Atau sebaliknya: sang menteri sangat terpengaruh akan keterangan menteri koordinatornya tentang jagung yang tumbuh subur dan babi yang gemuk-gemuk itu, wallahualam.
Kelaparan memang bukan berita baru untuk negeri gemah ripah loh jinawi ini. Sebelum di Yahukimo, 56 balita di Nusa Tenggara Timur meregang nyawa lantaran busung lapar. Dalam dua atau tiga bulan terakhir, kelaparan juga melanda Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Tengah. Bahkan di beberapa pelosok Pulau Jawa, penduduk sudah memakan aking, oyek, atau entah apalah namanya untuk mengganjal perut lantaran tak sanggup menebus beras.
Dalam kasus Yahukimo, sulit menepis kesan betapa terlambatnya langkah pemerintah, terutama para pejabat di daerah bencana, yang biasanya berusaha melaporkan hanya yang baik-baik ke pusat. Tetapi, dalam keadaan kritis seperti saat ini, salah-menyalahkan juga bukan cara terpuji. Semua pihak yang merasa harus bertanggung jawab terhadap sesama saudara yang sedang diintai maut itu seyogianya menyamakan sikap dan tidak saling mengelak.
Sikap minimal yang paling mendasar adalah tidak meremehkan bencana ini dengan mengalihkannya ke soal-soal sekunder, yang justru memperlambat rantai bantuan. Bagus sekali paparan Menteri Aburizal Bakrie tentang rencana pemerintah di Yahukimo, yakni menyiapkan lumbung di setiap desa serta penyuluh pertanian dan dokter untuk pendidikan kesehatan. Tapi, sebelum semua rencana mulia itu terwujud, saudara-saudara kita di Yahukimo itu harus makan. Segera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo